Senin, 27 Juni 2011

Cerpen: Menunjuk Hidung

Jangan-jangan kita sendiri yang musuh, teroris, penjahat, perusak atau apalah. Kenapa mereka sibuk mendemo presiden negara kita, mendemo para pejabat?; mendemo orang-orang yang patut dianggap sebagai musuh, teroris, penjahat, perusak atau apalah. Jangan-jangan kita sendiri yang seperti itu. Bukan mereka. Atau, malah sama-sama dianggap musuh, teroris, penjahat, perusak, atau apalah.



Aku sering melihat saat berdiskusi di malam hari, kawan-kawan aktifis menenggak minuman keras, walau tidak sampai mabuk. Tak lupa, tentunya menghisap rokok. Mereka serius membicarakan tentang kebobrokkan bangsa, keburukan tingkah para pejabat, sembari minuman keras mendampinginya. Terlihat ketidakberesan mereka, tapi mereka hanya sibuk membahas ketidakberesan orang lain.



Aku hanya menatap mereka yang tengah asik beradu argumen tentang persiapan demontrasi ke PLTU. Mereka membicarakan tentang kerusakan alam dan kerugian untuk nelayan. Menurut kalangan aktifis, bila PLTU tetap diresmikan maka akan berdampak pada kerusakan alam–tapi PLTU itu telah diresmikan oleh bupatinya sendiri. Uapnya akan mengganggu lingkungan sekitar yang berdekatan dengan PLTU; mengakibatkan timbulnya penyakit pernafasan pada masyarakat khususnya anak-anak kecil. Juga akan merugikan para nelayan kecil; mengingat PLTU dibangun di atas sungai, di pinggir lautan. Akhirnya, sungai itu mau tak mau harus dikubur dengan tanah. Tentunya, para nelayan yang biasa mencari ikan dipinggiran laut tak ada lagi harapan untuk mencari ikan.



“Itu terlalu dipaksakan menurut saya. Mereka tahu kalau pembangunan itu di atas permukaan air. Tentunya tidak sesuai dengan AMDAL,” kata Mas Irwan--pimpinan pengkaderan. Setelah itu ia meminum minuman kaleng yang beralkohol--berkadar alkohol rendah.



“Betul!” Serempak mereka setuju.



“Mau minum? Ini tidak terlalu memabukkan,” Mas Irwan yang duduk disebelahku menawarkan minuman itu padaku.



“Maaf, Aku tidak suka!” jawabku tegas.



Aku membayang kegiatan para aktifis. Keaktifan para aktifis dalam mengkritisi lajunya pemerintahan demi kemajuan bangsa memang patut diperhitungakan, tetapi kebanyakan aktifis dari organisasi yang aku ikuti mereka tak pernah mengkritisi keadaan dirinya dan kegiatan perkuliahannya sendiri. Sudah terlihat jelas, dalam pembahasan kebangsaan saja mereka berani menghadirkan minuman beralkohol. Belum lagi kebobrokkan perkuliahan mereka; mata kuliah banyak yang tak terurus. Apakah itu bukan perbuatan penghancuran terhadap bangsa? Jelas, itu penghancuran terhadap bangsanya sendiri.



“Silahkan Mas. Keluarkan argumen Mas,” kata Mas Irwan.



“Lebih baik kita berdiskusi dengan tidak menghadirkan minuman itu.”

“Biar hangat, Mas Ujang. Sekarang udara dingin,” kata Mas Komar--moderator diskusi. Lalu ia mengambil minuman yang ada dihadapan Mas Irwan.



“Mas Ujang, silahkan minum dulu. Biar semangat dalam diskusinya. Lalu keluarkan pendapat Mas tentang pembangunan PLTU ini,” Mas Lukman mencoba menawari. Aku tersenyum kecut. Karena hanya aku yang tidak meminum minuman itu. Enam mahasiswa yang menghadiri diskusi ini semuanya meminumnya. Kecuali tiga mahasiswi.



Mas Lukman, sudahlah,” Kata salah satu mahasiswi.



Dalam diskusi, aku seperti tersudutkan. Kenapa tidak? Cuma aku yang menentang kehadiran minuman keras itu. Biasanya ada teman sekelasku, Dani, yang satu sikap denganku. Tapi ia tidak bisa hadir karena ada keperluan. Hadir Dani cukup meringankan tekanan ini.



Aku teringat sewaktu masih kecil--masih SD. Aku diajak merokok. Aku pun mencoba untuk menghisap. Tentunya aku langsung batuk karena belum biasa. Ketika SMP, aku tekadkan untuk menolak setiap kali teman mengajak untuk merokok. Tapi mereka tetap tak mau mengerti ketidaksukaanku pada rokok. Mereka terus menyudutkanku agar merokok.



Kembali ke permasalahan teman-teman aktifis. Mereka sedang mengomentari tentang dugaan adanya suap. Menurut dugaan mereka, bupati telah menerima uang suap dari pihak PLTU untuk meresmikan adanya pembangunan itu; walau pada kenyataannya tempat itu tidak cocok untuk pembangunan, apalagi pembangunan PLTU. Aku pun mengomentari dalam hati bukan tentang suap PLTU ke bupati. Tapi aku mengomentari sikap para aktifis. Apakah mereka tidak sadar? Kemana pikiran mereka selama ini? Tubuh mereka, organisasi yang membawa misi keagamaan dan kebangsaan mereka, dan membawa citra kampus, tapi telah disuapi dengan minuman beralkohol.



“Perubahan harus ada pada kepalan tangan mahasiswa!” Mas Irwan memberi semangat.



“Besok kita harus bertindak! Kita berusaha agar pembangunan PLTU segera dibatalkan. Jangan ada lagi kekuasaan yang justru menghancurkan kaum lemah!” kata Mas Anwar yang mempunyai ide untuk berdemo ke PLTU. Kebetulan ia mahasiswa--semester 13--yang tinggal di daerah sekitar PLTU.





Sampai larut malam, kira-kira jam dua belas malam, diskusi pun selesai dengan keputusan untuk berdemo.



“Mas Ujang. Kok tidak memberikan argumen? Padahal waktu pengrekrutan kader baru, Mas ujang yang paling aktif berbicara,” kata Mas Irwan.



“Maaf saja.” Aku mencoba ingin mengatakan yang sesungguhnya walau masih terasa berat. Tapi aku harus berusaha. “Bila minuman itu dijauhkan ketika kita diskusi, aku lantang memberikan argumen,” aku lega telah mengatakan masalah ini.



“Hahaha...Kalau tak mau melihat minuman itu, kenapa kemari?! Ini sudah menjadi tradisi kita Mas Ujang,” Mas Anwar seolah memberi tanda pengusiran untukku.



“Oh ternyata. Pantas aku selalu melihat perbuatan seperti itu,” aku memalingkan pandangan dari arah Mas Anwar.



“Mas, apakah tidak melihat pemerintah melegalkan beberapa tempat yang menjual minuman keras? Itu suatu bukti kesalahan pemerintah. Tapi pemerintah pun enggan meniadakannya,” kata Mas Irwan.



“Tapi setidaknya diskusi tentang kebangsaan jangan dicampuri minuman jijik itu!”



Mereka tertawa. Hanya dua mahasiswa yang tak pernah komentar dan tak ikut tertawa. Merasa kesal, aku pun pergi meninggalkan tempat perkumpulan ini. Aku pergi ke kamar untuk tidur.



***


Waktu subuh datang. Aku terbangun dengan perasaan bingung. Aku merasa terjebak mengikuti organisasi ini. Aku hanya mahasiswa semester satu. Masih belum paham tentang organisasi. Sekilas, organsisasi ini memang menarik: mengandung nilai keagamaan dan kebangsaan. Tapi, baru satu bulan, aku sering mendapati tingkah aktifis yang aneh-aneh; di luar tentang sikap keagamaannya dan kebangsaannya. Yang lebih menjengkelkan--karena merasa tersudutkan--yaitu menghadirkan minuman beralkohol di saat diskusi. Aku bingung. Aku ingin tidak aktif dalam organisasi ini. Tapi, aku pun tak mau dianggap pengecut. Aku ingat perkataan Mas Anwar yang mengatakan jika aku keluar maka aku dianggap pengecut. Saat itu ia sehabis menawarkan minuman beralkohol kepadaku dan aku menolaknya.



Matahari terbit. Barulah aku mempelajari mata kuliah yang akan dipresentasikan di dalam kelas. Melihat kehancuran moral di tubuh organisasi ini, lebih baik mempelajari mata kuliah dari pada mempelajari dunia organisasi. Tak masalah aku hanya disebut anak kampus. Aku membuang label “aktifis” dalam jiwaku.



Matahari semakin terbit. Banyak para aktifis yang masih tertidur pulas. Aku telah siap-siap untuk keluar dari tempat ini. Keluar menuju kampus. Tak lama dalam perjalanan, aku telah sampai di kampus. Aku menemui satu teman sekelasku dan Dani.



“Kau tak hadir membuatku terpojok!” aku memisahkan Dani dengan teman sekelasku.



“Masih seperti biasa?”



“Pasti! Aku terus-menerus ditawari. Aku tak akan ikut berdemo ke PLTU bersama mereka.”



“Kau serius?! Aku ingin ikut. Ingin mengetahui jalannya demontrasi.”



“Maaf, aku kira cukup beralasan, mengapa aku tak ingin berdemo.”



“Oh, ya sudah. Aku mengerti.”



“Berarti kau tak masuk kuliah?”



“Tidak.”



“Ya sudah. Aku masuk ke kelas dulu.”



Aku langkahkan kaki dengan pasti. Aku sadar, tujuanku kuliah adalah mempelajari mata kuliah kampus. Itu kebutuhan. Aktif dalam organsisasi hanya keperluan. Jangan sampai keperluan itu mengalahkan kebutuhan.



***


“Coba lihat. Ini aksi aktifis yang ngotot agar pembangunan PLTU segera dibatalkan.” Dani duduk berdampingan denganku di depan halaman kelas. Melihatkan koran lokal yang berisi demontrasi kemarin. Terlihat para mahasiswa yang rela tidur di atas tanah--yang akan dibangun bangunan--selama berjam-jam. Wajah mereka terlihat ditutup sepanduk agar tidak tersengat panas. Isi sepanduk bertuliskan tentang kecaman atas pembangunan PLTU dan izin bupati. Rencananya akan dilaporkan ke pihak yang berwajib.



“Lihat kulitku. Hitam kan?! Dani menunjukkan hasil dari demontrasi kemarin.



Menurutku, kegiatan domentrasi yang dilakukan kebanyakan aktisif hanya sekedar kegiatan teatrikal semata. Wartawan pun diundang untuk meliput kegiatan aktifis. Seperti waktu malam yang aku dengar, salah satu aktifis telah mengundang wartawan. Salah satunya wartawan dari koran lokal ini.



“Lalu, kapan hasil nyata dari perjuangan para aktifis dalam mengecam PLTU dan bupati?” tanyaku pada Dani.



“Aku tak tahu pasti. Sepertinya aktifis kita cuma mencari sensasi saja untuk mengunggulkan organisasinya. Ada muatan politik juga,” Dani menjelaskan.



“Hahaha...Aku katakan, mereka hanya menunjuk hidung orang tapi mereka tidak pernah menunjuk hidungnya sendiri,” penegasanku.



Ada beberapa aktifis yang sudah semester 13 tapi belum juga lulus--termasuk Mas Anwar. Mereka bersemangat untuk memperbaiki tatanan bangsa tapi mereka menghancurkan tatanan kehidupan mereka sendiri. Dan para aktifis malas lainnya tentu masih banyak. Jelas itu penghancuran terhadap diri sendiri dan bangsanya.



“Ibaratnya lilin, ia mencoba menerangi ruangan dengan cahayanya tapi dirinya sendiri meleleh,” kata Dani.



Aku mencoba merenung. Jangan-jangan kita sendiri yang musuh, teroris, penjahat, perusak atau apalah. Kenapa mereka sibuk mendemo presiden negara kita, mendemo para pejabat?; mendemo orang-orang yang patut dianggap sebagai musuh, teroris, penjahat, perusak atau apalah. Jangan-jangan kita sendiri yang seperti itu. Bukan mereka. Atau, malah sama-sama dianggap musuh, teroris, penjahat, perusak, atau apalah.



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar