Jumat, 01 Juli 2011

Cerpen-Menghisap Sebatang Rokok

“Mau rokok?” Kata seorang yang bernama Apong sembari asap ia tiupkan ke wajah Bio. Ia berwajah Arab. Berbadan tinggi besar. Dan seorang yang sudah mendapat nama sebagai penguasa kelas atau termasuk salah satu penguasa sekolah.



“Tidak.” Kata Bio pada seorang temannya. Telihat tubuhnya berukuran sedang. Sedikit kurus. Tak seperti temannya.



“Cobalah. Kau jangan jadi anak mamih!” Kata Apong.



“Penakut! Belum sunat lo?!,” kata teman Apong sembari telapak tangannya menggampar kopiah Bio.



“Dasar banci!” Kata satu temannya lagi.



“Gak gaul”, teman yang satu lagi menambahkan.



Mereka berempat teman-teman satu kelas dengan Bio. Mereka selalu menghina Bio. Berhari-hari Bio selalu menjadi bahan permainan lucu di kelasnya. Karena, siapa lagi seorang anak yang berwajah melankolis culun, kutu buku, dan pendiam selain Bio?



Hari ini mereka menyuruh Bio untuk merokok. Tapi Bio menolak. Tentunya hak setiap orang berbeda. Tapi penolakan Bio seakan tidak diharganya. Tawaran merokok adalah harga mati yang harus disetujui. Bio tak banyak berkomentar. Ia hanya memberikan sedikit alasan penolakannya.



“Aku ingin sehat jiwa dan raga.”



Memang bukan hanya Apong dan teman-teman satu gengnya saja yang memperlakukan Bio seperti permainan. Sebagian teman satu kelasnya pun memperlakukan hal yang sama walau hanya ikut-ikutan. Itu karena mereka tertular dari sikap Apong dan teman-temannya. Itulah daya tarik Apong yang sebagai anak dari keluarga terpandang---anak dari seorang kiyai di daerahnya. Sehingga mampu menggerakkan banyak siswa.



Suasana dalam kantin masih tetap ramai. Berjejeran seorang pelajar menikmati hidangan. Pun, tak lupa menghisap sebatang rokok dengan gaya yang serius, angkuh pada raut wajah seakan inilah kedewasaan lelaki sejati. Memang jam istirahat masih cukup untuk bersantai.



Terlihat kantin berada di halaman belakang kelas. Hanya rangkaian bambu yang membentuk sebuah bangunan. Ditutupi dengan bilik yang cukup menghalangi pemandangan pelajar merokok. Suasana makin terlihat rahasia. Hanya kepulan asap yang bertebaran dan bising kelekar pelajar.



“Dari kelas satu SD sampai saat ini belum merokok, hahaha... aku curiga sama kenormalan jiwa lelakinya,” kata Apong.



“Hahaha...,” semua yang kenal dekat sama Apong ikut tertawa terbahak-bahak.



Tapi tidak untuk Bio. Ia tak bisa tertawa atau pun menunjukkan wajah ketidaksetujuan atas segala sikap Apong dan teman-temannya. Mengapa tidak? Ia hanya seoang diri. Berstatus hanya seorang perantau pula. Seorang anak pesantren yang meninggalkan kedua orang tuanya. Ia pun selalu menyendiri. Hanya asik membaca buku walau banyak yang enggan yang mengaguminya. Ia tak punya kekuatan untuk memberontak. Amarahnya selalu saja tertahan di dada. Sebagai bukti, terlihat mata Bio merah padam. Lantas setelah keadaannya berubah, ia pergi dari keramaian.



Dalam WC ia mencuci muka. Mencuci mata yang cukup terlihat merah padam. Mengatur nafas yang sempat tak beraturan.



“Ya Allah. Izinkan aku sanggup membalas perbuatan Apong.”



Dari kelas satu sampai kelas tiga SMA, Bio belum tunjukkan sikap memberontak. Ia selalu mengalah atau kalah. Barulah kali ini ia berkata yang tak seperti biasa. Seakan perubahan telah terjadi dan harus segera terjadi. Kalau tidak, ia hanya akan di cap sebagai lulusan banci, penakut, anak mamih dan yang lainnya.



Seakan telah puas. Ia pun keluar. Tak terduga terjadi. Benar-benar terkejut hati Bio. Teman-temannya berhamburan datang melesat cepat dan langsung mendorong Bio masuk ke dalam WC. pintu segera dikunci. Bagian luar terdapat tempat penguncian dengan gembok. Kebetulan atau di sengaja, Apong membawa kunci gembok.



Pernah kali pertama ia diperlakukan seperti ini. Teman-teman Bio padahal tahu kalau ia terkunci. Tapi apa daya, tak punya nyali untuk berusaha membuka atau melaporkannya ke guru. Tapi suara, dan tangan Bio yang memukul-mukul pintu membuat Apong kembali membuka. Langsung disambut dengan ejekan dari Apong dan teman-temannya. Dan ini kali kedua. Padahal ia sudah tak berani masuk ke WC. Entah mengapa, sekarang ia masuk lagi.



“Hoooi!, kurang ajar! Buka! Buka! Aku tak terima!” kata Bio sembari menendang pintu.



“Hahahaha...,” semua tertawa.



“Mampus lo!” Kata Apong.



Apong dan teman-temannya masuk ke kelas. Sekitar WC senyap seakan tak ada siapa-siapa. Lalu datang tiga anak siswi yang ke situ. Satu siswi masuk sekedar untuk melepaskan hajat. Ia melihat pintu yang di dalamnya ada Bio. Lalu beralih pandang. Tak ada sedikit pun kecurigaan tentang penguncian pintu itu.



Datang lagi. Kini yang datang satu teman Apong. Untuk mendengarkan kelucuan Bio merengek meminta segera dibuka. Tapi keadaan tak bersuara. Ia curiga. Seakan Bio pingsan atau mati.



“Ah... paling tidur,” dugaan seenaknya. Tanpa ada rasa kasihan sedikit pun. Lalu setelah itu, ia pergi. Kembali dalam kelas.



“Pong, tidak ada suara tangis pun. Entah. Mungkin tidur kali,” ia mengadu pada Apong.



“Dia mampus!” Apong berkata lebih kejam. Ia tak khawatir bila Bio mati. seorang anak kiyai sangat enteng berucap kejam seperti ini. Entah, didikan apa yang diberikannya.



****


Jam pelajaran terakhir selesai. Semua siswa berhamburan keluar gerbang. Ada yang berjalan kaki: bergandeng tangan dengan sang pacar, sendirian atau bersama-sama dengan teman. Ada yang naik sepeda. Banyak pula yang naik motor: membawa sang pacar, membawa teman, atau sendiri. Tak ada seorang siswa pun yang membawa mobil kecuali beberapa guru.



Tapi tidak untuk Apong dan teman-temannya. Mereka masih di kelas. Menunggu keadaan lengang. Mereka ingin mendengarkan sekali lagi rengekan tangis Bio. Seakan terhibur bila mendengar rengekannya.



Tapi mereka harus kecewa. Sekali lagi tak ada suara.



“Sial! Dia gak ada tangisan.”



Teman Apong yang menduga Bio tertidur kini malah menjadi khawatir. “Jangan-jangan mati!,” katanya.



“Bio masih hidup!”



Bio diam. Ia tak berharap sedikit pun pintu ini dibuka.



“Biarin. Udah, jangan cengeng! Paling pingsan. Ayo cabut!, Apong menepis dugaan temannya. Apong dan teman-temannya kembali melangkah pergi.



Pintu benar-benar tak dibuka. Mereka seakan tak mempunyai salah sama sekali. Mereka tak peduli seorang temannya di kurung dalam kamar mandi.



****


Hari berikutnya, Apong dan teman-temannya datang lebih pagi. Tapi bukan untuk berangkat sekolah. Mereka loncat dari pagar belakang yang biasa dilakukan untuk membolos atau masuk kelas bila terlambat. Gelap masih menyelimuti gedung sekolah. Mereka melangkah tanpa suara. Khawatir ketahuan penjaga sekolah yang masih terlelap tidur. Mereka berjalan berselimut rasa khawatir.



Mereka saling bercakap lirih.



“Jangan-jangan Bio mati.”



“Kalau Bio mati, kamu Pong yang bertanggungjawab!”



“Cepat buka! Jangan banyak bacot!”



Teman Apong melepas gemboknya dengan sorot mata tajam, perasaan khawatir dan jantung berdegup kencang. Mereka semua pun dalam kondisi perasaan yang sama. Gelap menambah suasana menjadi mencekam, seram. Apa lagi bila melihat Bio yang ternyata mati. Tak terbayang bagaimana kegoncangan jiwa mereka. Terutama Apong.



Pelan-pelan, Apong mulai ketakutan. Ia menelan ludah.



Semua terkejut melihat Bio berbaring tak berdaya. Kondisi jiwa mereka seketika kacau berantakan.



“Cepat bawa keluar! Dan kita urus,” kata Apong.



“Entar dulu, kita periksa.”



“Cepat!”



“Pong. Masih bernafas.”



Perasaan mereka kembali normal. Usil mereka kembali kambuh. Teman Apong menyulutkan bara api rokok ke pipi Bio.



Bio terbangun. Terkejut. Mereka pun tertawa. Tapi segera ia tenangkan kembali. Tak ada suara dari mulut Bio. Hanya tatapan bara api yang keluar. Pun, mereka tak mengajak Bio bicara. Mereka seakan takut dengan tatapan Bio.



“Ayo, cabut!”



“Jangan-jangan kesurupan jin. Hih, seram.”



Mereka tinggalkan Bio begitu saja tanpa ada seucap maaf. Mereka kembali keluar dari sekolah.



“Ya Allah, izinkan aku membalasnya! Biadab! Biadab! Biadaaab!” ia alirkan air mata sembari memukul-mukul tembok dengan penuh amarah.



Jam setengah enam. Bio pun keluar dari jalan yang dilewati Apong dan teman-temannya.



Bio berjalan lunglai. Sembari sorot mata terlihat angker. Merah padam penuh bara pada mata. Seakan ia telah menjelma menjadi seorang Bio yang lain. Tak seperti biasa.



Mentari kian membuktikan terang sinarnya. Kegiatan sekolah kembali dimulai seperti biasa. Tampak tak ada sesosok Bio dalam ruangan kelas. Dari pagi sampai selesai waktu belajar pun tak ada sosok Bio.





****


Bio berlarian sembari mengambil batu bata dan ditimpuknya keras-keras ke punggung Apong. Sentak Apong kesakitan, lalu berusaha membalas perbuatan Bio. Pun, teman-teman Apong membalasnya. Entah mengapa, baik Apong maupun teman-temannya tak ada yang sanggup melawan Bio. Bio seakan kerasukan jin.



“Tolong. Tolong,” tiga teman siswi tak sengaja melihat.



“Cepat panggil anak-anak buat memisahkan mereka!”



Suasana menegang di dekat kantin. Nampak Apong tak kuasa melawan. Ia terus-terusan menjadi bahan tinjuan. Berusaha lari, tapi terkena kembali. Luka membekas di wajah, berdarah. Temannya tak lagi bisa memisahkan. Mereka dengan rasa terpaksa memanggil guru.



Siswa yang tengah asik di kantin hanya menatap dengan perasaan ketakutan. Mereka takut akan kekuatan Bio yang sanggup menghajar tubuh Apong yang tinggi besar. Salah satu siswa mencoba memisahkan tapi malah terkena tinju Bio. Seakan dunia Bio telah berubah. Menjadi sosok yang ditakuti.



Dari jauh guru dan teman-teman Apong berlarian.



“Bio! Berhenti!”



Pukulan demi pukulan tak henti-hentinya menghajar Apong. Hanya Apong yang dipukuli. Mungkin ia adalah seorang keturunan dari keluarga terhormat tapi berhati bejat.



“Bio! Apong!” Pak Arif, wali kelas dari kelas Bio akhirnya sanggup memisahkan.



Plak, plak,plak.



Mereka berdua terkena tampar oleh Pak Arif.



“Kalian apa-apaan, hah?! Ikut Bapak ke kantor!”



Bio, Apong dan juga Pak Arif, mereka bertiga pergi ke kantor.



****


“Duduk! Kalian mau jadi jagoan, hah?! Siapa yang memulai?!” kata Pak Arif sembari menghisap rokok dan asap bertebaran di sekeliling ruangan.



“Dia Pak!” Mereka saling menunjuk. Dan Apong walau sudah memar di sekitar wajah masih tetap saja menunjukkan perlawanannya.



“Hei Bio! Kamu berani-beraninya menuduh Apong. Jelas-jelas kamu yang memulai. Teman-temanmu sebagai saksi! Aku pun melihat.”



“Tapi.”



“Sudah! Diam!” Pak Arif membentak Bio sembari memukul keras meja kerjanya. Seakan memang Bio saja biang keladinya. Tapi Pak Arif tak pernah tahu perlakuan Apong.



“Apong, tolong bicara.”



“Baik. Waktu aku sedang berjalan. Tiba-tiba aku di timpuk dari belakang pakai batu. Aku sakit. Dan Bio terus-menerus menghajar aku. Aku tak berdaya melawan. Teman-temanku tak ada yang berani memisahkan.”



“Bio! Aku tak menyangka! Rupanya kau serigala berbulu domba. Aku heran.”



“Tapi Pak! Dia yang memulai. Mengunci aku di dalam kamar mandi! Apakah Bapak tidak tahu, kelakuan para pelajar Bapak banyak yang tidak berpendidikan?!”



Plak,Plak,Plak. Tamparan demi tamparan telah membuat legam wajah Bio.



Bio diam. Menunduk. Terlihat Apong pun menunduk.



“Apong... nanti lukamu diobati. Kalau orang tuamu tanya, jawab sejujurnya. Dan bilang, lukamu sudah diobati di sini. Silahkan kamu boleh keluar.”



Kini tinggal Bio sendiri. Pak Arif terus saja menceramahi Bio dan terus dimarahi. Ia di hukum tidak boleh sekolah selama satu minggu. Padahal ia seorang anak yang rajin. Pun, orang tua yang dari Jawa Timur harus mendatangi daerah jauh---daerah Cirebon---untuk sekedar menemui Pak Arif sebagai wali kelas Bio, disini.



Sekitar setengah jam, Bio pun disuruh keluar.



Di sekitar kantor. Ia melihat bekas tempat kotak untuk menampung suara dari pelajar. Tapi kotak itu telah lama tiada.



Terlihat Bio melepaskan sabuk. Berwarna merah. Lalu dilemparkan sabuk itu ke tong sampah.



“Selamat tinggal jimat! Aku tak membutuhkanmu lagi”. Kenapa hanya aku yang di hukum?!” Ia pun melangkah kembali.



“Astahfirullah. Ada kalimat sucinya,” kembali ia mengambilnya.



****


Cirebon, 2 September 2010





______

* Terinspirasi dari “Sajak Sebatang Lisong”, karya W.S. Rendra.

* Dalam bentuk sajaknya seperti ini: Sajak Sebatang Rokok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar