“Memang aku akan di beri jabatan. Memang aku dianggap mendapat aji mumpung. Tapi aku tolak tawaran itu…. Aku tak mau itu... Aku ingin meraih kesuksesan berawal dari nol. Dari nol, Indaaah. Kau tahu kan? Aku ingin kuliah. Bekerja begini bukanlah impianku…, hik, hik, hik.”
Hayati melampiaskan tangis kesedihan dipelukan Indah, Sahabatnya. Lelehan air mata sedikit membasahi punggung Indah. Seakan air mata Hayati mendapat restu untuk membasahi punggung Indah.
“Coba ceritakan lebih jelas padaku…aku, aku terkejut kamu tiba-tiba mengadu pilu.”
“Aku sedih, Indah. Sedih. Sakit, Indah, hatiku sakit. Sudah lama aku tak mengadu padamu. Aku malu tentang masalah ini. Aku, aku sangat, sangat tak kuat bicara padamu… Di tempat kerjaku, Indah. Di tempat sehari-hari aku berada. Aku diperlakukan tidak baik, tidak sopan, difitnah, direndahkan. Betapa aku sulit menghidar dari sikap sebagian pekerja padaku ini.”
“Pantas saja akhir-akhir ini kau terlihat selalu murung. Betapa Tuhan adalah pelindungmu, sekaligus pemberi kebahagiaan setelah deritamu. Yakinlah! Airmatamu adalah saksi, betapa batinmu teraniaya. Maafkan aku. Tak ada aku di situ yang siap membelamu,” kata Indah menguatkan.
“Indah, aku pernah menceritakan kenapa aku gagal kuliah. Padahal satu langkah lagi bisa kuliah. Walau uang kuliah pinjam ke tetangga. Tapi karena penipuan itu... hik, aku..., ah.., sungguh biadab si brengsek itu! Akhirnya aku terdampar di sini dan tidak kuliah. Bodoh, ilmu apa yang aku dapat di sekolah?! Bodoh! Hik, hik, hik”
“Sudah, sudah. Kau jangan ingat-ingat lagi. kau Jangan membodohi diri sendiri,” Indah menenangkan sembari melepas pelukannya.
“Aku sedih banget. Dada terasa sesak. Sesak! Di saat aku mendapat musibah, Ayahku malah kecelakaan dan masuk ke rumah sakit! Uang, uang, Indah. Orang tuaku butuh uang untuk berobat. Ya Tuhan cobaan darimu datang bertubi-tubi. Ampuni hamba.”
“Aku mengerti… Aku ikut larut dalam sedihmu... Aku merasakan apa yang kamu rasakan”, kata Indah sembari tisu mengusap-usap air mata Hayati dengan hati ketulusan.
“Aku sempat untuk berhenti kerja... Dan, dan ingin kuliah sembari kerja sampingan. Aku sudah cukup membuat orang tua kecewa! Kecewa.. hik, hik, hik. Rasa sesalku masih terasa di batin. Walau kejadian itu bukan aku yang melakukan. Teman sialan! yang menelantarkan aku ke sini…”
“Sudah, sss, sss, sudah. Semoga kamu bisa kuliah. Kamu jangan ingat kejadian penipuan itu… jangan, kamu, ingat lagi,” kata Indah sembari tangan tetap mengusap dengan tisu di pipi Hayati yang penuh derai air mata.
“Hik, hik, hik. Tapi, tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa kuliah, Ind-ah. Sekarang aku butuh kerjaan. Walau tidak memberikan banyak waktu. Gaji hanya cukup makan dan membantu orang tua. dipotong uang kos pula. Kini Ayah hanya terbaring karena kecelakaan itu!”
“Ya Tuhan. Begitukah? Sekarang Ayahmu sudah tidak bisa bekerja? Aku ikut sedih, Hayati…”
Kakinya lumpuh. Beliau tidak bekerja. Cuma Ibu. Tapi itu tidak cukup untuk biaya sekolah 2 adikku yang sudah SMA. Tidak cukup. Jadi aku harus kerja. Kerja di tempat dimana penuh orang-orang benci melihat keberuntunganku! Hik, hik, hik.”
“Sudah, sudah, Hayati... Tenangkan pikiranmu. Kamu jangan menangis terus,” kata Indah sembari memeluk erat sahabatnya.
“Indah, hik, hik, hik. Bantu aku… Bantu aku menghadapi bos. Pak Ari namanya. Aku, aku tidak mampu lagi bicara. beliau, beliau menyukaiku…”
“Apa? Jadi itu masalahnya,” Indah terperanjat.
Indah melepas pelukannya. Dia terkejut mendengar perkataan Hayati. Dua mata sahabat saling berpandangan. Hayati melihat Indah yang penuh pandangan terkejut. Indah memandang Hayati yang penuh dengan air muka kesedihan. Mereka saling memberikan bahasa isyarat yang akan menentukan seberapa penting sahabat.
“Bukan itu… Tapi itu, awal pegawai memandang sinis padaku….”
“Tolong Hayati, tolong yang jelas. Coba, coba jelaskan. Tenangin diri kamu. Ambillah nafas panjang-panjang. Itu cukup melegakanmu,”
“Kamu tetap mendukung hadirku, bukan? Kamu tetap membelaku, benerkan? Aku mohon, kamu tetap temani aku dan aku pun temani kamu.”
“Aku tetap begitu. Kita sudah jadi sahabat karib semenjak kita tinggal di sini. Walau masa SMA masih belum begitu dekat. Yah maklum, kamu adik kelasku.”
“Bos aku memberikan jabatan sebagai staf bagian ekpedisi, untuk mengawasi keluar-masuk barang, yang juga sebagai operator. Bos memberi di saat mempunyai rasa tertarik padaku. Aku dianggap cepat tanggap dalam bekerja dan entah apa lagi. Aku tak mengerti.
“Tapi, tapi aku tak mau menerima. Aku ini siapa? Cuma lulusan SMA yang baru bekerja beberapa bulan. Tapi pegawai lain, sudah bertahun-tahun tapi belum atau tidak dinaikkan jabatannya. Aku tidak mau.
“Tolong indah. Beri aku jawaban. Bantu aku bicara dengan bos aku.”
“Tanpa pikir panjang, Indah menyanggupi permintaannya, “oke! Aku siap. Tapi bagaimana aku membantumu?”
“Nanti aku pikir lagi bagaimana bicara sama Pak Ary. Aku pun bingung.”
“Lalu, mengenai kedengkian para pekerja padamu, bagaimana ceritanya?”
“Bos aku bicara padaku, tentang kenaikan jabatan di hadapan beberapa pegawai. Lantas tak lama kemudian info itu menyebar ke yang lainnya.”
“Pantas pekerja senior banyak yang protes.”
“Makanya aku mohon, kamu bantu aku berbicara sama Pak Ari. Agar beliau mau memperbaiki keadaan menjadi tenang.”
“Baiklah,”
“Sudah lah. Kita tidur dulu. Ini sudah jam 12 malam. Kamu butuh istirahat. Kerjamu tidak seringan kerjaanku,” pinta Indah.
“Baiklah,” ujar Hayati.
Mereka berdua pun tidur. Melepas penat. Mengistirahatkan jiwa dan raga. Di dalam kamar kos yang tidak terlalu luas. Mereka berdua tidur satu kamar. Alasan menghemat, sudah menjadi rencana mereka. Mereka berdua tidur dalam kedamaian. Mereka berdua tetap terikat rutinitas kehidupan. Menuntut mereka untuk melakukan pekerjaan kembali. Melakukan kehidupannya.
Dua orang sahabat itu mengadu nasib di daerah rantau, kota Bandung. Tepatnya di daerah Sukamenak. Dengan umur yang berbeda, 20 untuk Hayati, dan 21 untuk Indah, mereka gigih mengais rejeki. Khususnya Hayati walau cita-citanya tak tercapai. Dengan daerah asal yang berbeda, Hayati dari Cirebon dan Indah dari Indramayu, mereka selalu bersatu dalam ruangan ini. Dengan pekerjaan yang berbeda, Hayati bekerja di PT. Anisari dan Indah bekerja di supermarket, mereka tetap membagi informasi seputar kerjaannya masing-masing.
Malam begitu setia menemani dua sahabat yang terlelap. Suara jangkrik di belakang halaman kos terdengar merdu dalam nyanyian. Seakan menyanyikan tembang persahabatan, sebagai tembang untuk tidur. Dan Nuansa malam kota Bandung yang begitu mendinginkan ruangan tanpa AC ini.
Pagi masih terlalu muda. Tapi Suara ayam-ayam jago Bangkok milik pemilik kos sudah bersiul merdu sebagai sambut hormat untuk pagi. Membangunkan para anak kos yang terdiri dari mahasiswa dan pekerja. Agar mereka tak larut dalam dunia maya. Terlihat, Indah menggeliat akibat ulah kokok Ayam. Membuka mata perlahan. Lalu Indah melihat Hayati yang tidur di sampingnya.
“Hay, bangun. Sudah jam empat pagi. Kamu siap kerja.”
Hayati menggeliat seiring tangan Indah menggoyang-goyangkan badannya. Hayati terbangun. Kedua tangannya mengucek-kucek kedua matanya.
“Jam berapa?” Tanya Hayati.
“Jam empat.”
Hayati bangunkan badan. Dia duduk sembari menahan mata yang masih terkantuk. Dia terdiam. Seperti masih ada kesedihan yang melekat di dada. Seakan tidur masih tidak cukup untuk menghilangkan kesedihan.
“Aku tidak mau bekerja hari Minggu ini.”
“Kamu tetap bekerja, Hay. Ayolah, hadapi masalahmu.”
“Justru tidak masuk kerja itu untuk menyelesaikan masalahku. Aku tidak enak sama bosku.”
“Oh masalah itu. Ya sudah lah”
“Aku diberi dua pilihan. Menerima tawaran untuk dijadikan istri, atau menerima jabatan sebagai staf ekpedisi. Dia memberikan jabatan sebagai wujud penghormatan beliau di kala aku menolak tawarannya.”
“Begitu kah? Membingungkan.”
“Ya. Setengah bulan yang lalu, Pak Ary mengungkapkan perasaannya. Aku menghormatinya. Walau masih ada kerahasiaan dalam diriku.”
“Kamu kerja baru enam bulan, tapi, ah… Betapa seriusnya Pak Ari memperhatikanmu.”
“Nanti aku ceritakan lagi. Kamu ke kamar mandi dulu. Aku belakangan.”
Indah pun menuruti. Lalu ia menuju kamar mandi. Sedangkan Hayati, duduk termangu. Antara kantuk dan melamun. Lalu Hayati kembali berbaring. Terlihat titik air mata tetap mengalir di pipi Hayati. Dia bimbang tentang asmara bos. Dia sakit hati, atas pembicaraan yang dilakukan sebagian pekerja.
Gemercik air terdengar jelas sampai di ruangan kamar. Memang kamar ini sedikit berdekatan dengan kamar mandi.
“Arman, Arman, Arman, kau yang tetap aku cinta. Kenapa aku begitu malu mengatakan cinta di waktu itu? Kenapa? Hik, hik.
“Arman Masih teringat, aku bermain bersamamu… Aku belajar bersamamu… kau berikan segudang ilmu walau aku anak yang tak punya. Kita pun mengatur rencana untuk kuliah. Sungguh masa SMA terdapat seribu kenangan.”
“Arman, tahukah, hik, hik. Tahukah dirimu? Berbulan-bulan, berbulan-bulan aku memendam rasa cinta. Tak kunjung datang keberanian untuk hatiku. Sampai kita lulus sekolah, berpisah! Kamu pergi, hik, hik, kau pergi kuliah. Dan aku makin tak berdaya. Aku siapa sih? Cuma lulusan SMA, seorang anak yang tak punya.
“Kamu pun tak memberikanku kabar. Aku mengerti. kamu sudah tak mengenaliku lagi. Oh Tidak! Kenapa kamu tega… Kenapa? Apa karena aku ini anak yang tak kuliah?
“Aku berniat mengejarmu, Arman. Dan juga menuruti cita-citaku. Kamu kuliah di LP3I mengambil manajemen bisnis aku pun mengikutmu. Kamu bercita-cita jadi manajer aku pun sama, Arman. Tapi, tapi, hik, hik, hik, semua tak tergapai.
“Ya Tuhan, hilangkan rasa cinta ini yang sudah dua tahun lebih bersarang di hatiku! Sakit hati ini menahan cinta yang terpendam. Kenapa Engkau biarkan cinta ini menyiksa…?!”
“Hayati? Benarkah yang kamu bicarakan,” suara Indah mengejutkan Hayati. Sedari tadi Indah berdiri di sisi pintu. Hayati tak melihatnya. Indah mendengarkan sebagian dari rintihan Hayati.
“Eh, Indah. Sudah mandinya?” kata Hayati sembari duduk kembali. Ia mengusap air mata yang terlanjur keluar.
“Benarkah? Kamu tak pernah menceritakan soal cintamu.”
“Udah, tidak ada apa-apa.”
“Hayati…”
“Sudah lah. Kamu sudah mendengarnya, bukan?” Hayati memotong.
“Baiklah. Aku mengerti. Itu pengalamanmu yang belum diceritakan padaku. Ternyata satu demi satu kini terungkap. Kamu masih memendam cinta dari dulu.”
“Kalau nanti siang bos ada waktu, kita bertemu bos. Aku antar. Aku yang mengawali pembicaraan. Tapi selanjutnya, kamu yang bicara.”
“Baiklah”
***
Sinar panas Mentari menyelimuti daerah Bandung. Tapi tak terlalu panas yang dirasakan oleh kulit kedua sahabat itu.
Mereka duduk di kursi panjang. Berada dalam taman. Sejuk dan harum mewangi taman bunga. Menunggu kedatangan bos Hayati. Dengan hati Hayati yang berbalut malu, dan segala ketidakenakkan lainnya, Indah siap menegarkan hatinya. Inilah saatnya Hayati menentukan sikap. Apakah menerima cinta bos atau menolaknya dengan penuh rasa hormat.
“Kamu belum cerita, kenapa bos kamu sampai segitunya memperhatikan bawahannya. Beliau kenal kamu sampai menyukaimu. Dia belum menikah kan?”
“Baiklah. Begini Indah. Dulu aku mengeluhkan kerjaan. Aku ingin keluar dari kerjaan ini. Langsung saja. Tak tahu kenapa aku harus menemui Pak Ari.
“Awalnya, aku cuma ingin meminta izin keluar kerja. Tapi beliau mulai menanyakan tentang aku. Aku jawab, aku belum menikah dan seterusnya. Lalu beliau pun menjelaskan dirinya. Dia belum menikah. Umur 28 tahun. Beliau menceritakan keinginannya punya istri. Aku langsung paham apa maksud beliau.
“Beliau tak ada rasa canggung. Beliau pun meminta nomer HP-ku. Beliau sering SMS-ku, tapi tidak pernah menelepon. Beliau mengerti, kerjaanku yang sibuk. Sebulan lebih aku mengenalnya. Sampai….”
“Sssst, udah ceritanya. Bos udah datang.”
Pak Ari keluar dari mobilnya. Beliau bergegas menuju Hayati dan Indah.
“Hei, selamat siang.”
“Siang, Pak,” serentak mereka berdua menjawab.
“Hayati, rupanya kau membawa seorang kawan ya? Kau takut rupanya sama Bapak? Ah, tempat ini suasana rame pula, Hayati. Janganlah kau takut,” kata Pak Ari, yang asalanya orang Medan.
“Tidak, Pak. Hayati tidak takut. Dia Cuma malu dan tak sanggup bicara kalau tidak ditemani.”
“Hahaha, kau masih saja malu. Lupakanlah saja, Hayati….”
“Begini Pak. Hayati sangat bingung, apa yang harus dia katakan. Serba salah menanggapi tawaran Bapak”.
“Kenapa pula repot? Tidak ada paksaan sama sekali buat kau, Hayati.”
“Ayo Hayati. Bicara. Aku tidak bisa bicara panjang lebar. Kamu saja…,” lirih Indah pada Hayati.
“Plis, Indah.”
“Ayo lah Hayati. Bicaralah. Kau jangan malu lah,” pinta Pak Ari.
“Pak, tadi pagi aku tak sengaja mendengar rintihan Hayati. Dia sangat sedih, tak bisa menggapai apa yang diinginkan.”
“Ya, aku pun sedih kalau tak bisa menggapai hidup bersama Hayati, De”
Aku Indah, Pak,” Indah menjelaskan.
“Oh ya, Indah”.
“Pak, Hayati ingin sekali kuliah. Dia ingin meraih cita-cita yang diinginkan, yaitu menjadi manajer atau memiliki usaha seperti Bapak. Tapi impiannya hancur,” kata Indah sedikit menambah-nambahi alasan.
“Ya, aku tahu. Aku menyukai Hayati karena gaya bicara yang berwibawa dan pikirannya yang cerdas. Mm…lumayan cantik pula, hahaha. Pantaslah, Hayati aku angkat menjadi staf ekpedisi. Tak rugi buatku”.
“Tapi, di samping itu, dia ingin merasa diakui sama cowo yang dicintainya. Dia ingin ungkapkan cinta padanya. Aku minta maaf, Pak. Dia ingin kuliah di kampus, tempat cowo¬ yang dicintainya kuliah. Dari SMA sampai sekarang dia masih memendam rasa cinta. Tapi apa? Dia tak berhasil ungkapkan seiring tidak berhasilnya untuk kuliah.”
“Kesimpulannya apa, Indah? Tapi, tapi, soal kesimpulan lebih baik Hayati yang bicara lah. Ayolah Hayati.”
“Maaf Pak. Aku tidak bisa menerima tawaran Bapak.”
“Tapi”, potong Pak Ari.
“Pak, biarkan aku bicara.”
“Baik.”
“Kalau masalah tawaran menikah. Ada seorang yang menunggu kesiapanku menikah. Tapi apa? Aku tidak mau. Dan aku tak beri alasan. Sebelum cintaku hilang pada dia, namanya Arman, aku tidak akan menerima tawaran siapa-siapa. Terkecuali bila aku sudah berumur 23 tahun. Mungkin akan menerima. Tapi, untuk saat ini tidak bisa.”
“Hayati… kamu. Masih ada cowo yang menawari nikah?” Kata Indah terkejut.
“Iya, Indah. Dan tolong, Pak. Bapak tidak usah memberikan aku jabatan itu.”
“Aku memberimu, karena kau punya kemampuan juga.”
“Bukan masalah itu. Para pekerja di tempatku banyak yang berkata tidak enak padaku. Aku dituduh merebut hati Bapak, aku dianggap aji mumpung, aku cuma lulusan SMA dan lain-lain.”
“Begitukah kau diperlakukan? Ah, tak baik pula rupanya memberi. Oke… aku tidak memberimu sekarang. Tapi kau harus terima lah. Kau tak mau juga kan jadi bawahan rendah? Barangkali… impianmu mendapat jawaban, Hayati.”
“Tapi, tapi Pak. Tunggu sampai aku sudah lama bekerja di tempat Bapak. Aku tak mau lagi mendapat omongan yang tak enak.”
“Baiklah. Makasih atas jawabannya, Hayati dan juga kau, Indah. Makasih. Bapak Sedih. Tapi Hayati lebih sedih. Sampai saat ini impiannya tak terjawab.”
***
Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar