“Harus siap apa?” Aku bertanya penuh dengan rasa penasaran. Batinku seakan berbicara kalau hal buruk akan menimpaku.
Dan ternyata dugaanku benar.
“Kakak harus siap bila suatu saat kehilanganku. Tak selamanya aku ada untuk Kakak,” kata Indah membenarkan firasatku.
“Maksudmu berpisah? Kenapa begitu, Indah? Salah apa aku?”
“Aku tak mau, Kakak terbebani karena aku.”
“Indah, aku belum menatapmu. Aku tak kuat bila kita pisah dalam kerahasiaan jasad. Kau pun enggan tunjukkan wajah lewat fotomu. Aku pun tak mau lihat wajahmu hanya lewat foto yang terkirim lewat MMS atau dengan apa lah. Kita harus ketemu.”
“Aku mengerti Kak. Tapi antara Bogor dan Cirebon itu cukup jauh. Khawatir Kakak tersesat mencariku.”
Kata perpisahan dari Indah yang pertama. Bayang-bayang waktu itu di hari Minggu, akhir bulan Maret 2008 sebelum ulang tahun Indah.
Terlihat mendung menutup mentari yang cerah alami. Terlihat keruh angkasa raya bagai air bah dunia. Hatiku pun ikut larut dalam keruh sesaat setelah sedikit bercakap sengit dengan Indah. Sesaat percakapan itu, aku hanya berbaring tak berdaya di ranjang. Lemas seluruh tubuh.
Kabar seorang Indah telah membuat sayatan haru yang cukup serius menganga dalam hatiku. Air mata mengalir tiada terasa seakan ikut bersaksi dengan lembut ketulusan pada luka hatiku. Entah aku harus bagaimana, meredam kesedihan mendengar perkataan gadis yang telah aku sayang.
Entah mengapa, kata perpisahan lebih menyakitkan dari pada cinta yang terpendam. Lebih menyakitkan dari pada cinta yang bertepuk sebelah tangan. Atau lebih menyakitkan dari pada hubungan percintaan yang terputus di tengah jalan di saat sudah terjalin bertahun-tahun lamanya.
Aku mengerti tentang perpisahan. Betapa kisah pertemuan pasti ada kisah perpisahan. Lebih berkisar pada persoalan keadilan hidup. Tapi aku tak sudi putuskan seikat tali silaturahmi di saat dua raga belum lah saling berjumpa ria. Walau perjumpaan hadir dalam pandang mata, tak pula putuskan tali silaturahmi di kala hati sudah mengenal selama bertahun-tahun.
Pikiranku mengalir mundur. Membayang kisah lalu. Sesaat setelah perkataan perpisahan dari Indah. Di bulan Januari 2007, aku dalam perkenalan. Awalku mengenal Indah, lalu melekat erat dalam bingkai persaudaraan penuh hiasan bunga kasih sayang.
Awalku mengenal Indah dari keisenganku sendiri. Aku menyadari, betapa aku hanya sendiri, berbaring dalam ranjang ketidakberdayaan. Tak ada teman dekat yang menemaniku. Sepi menertawakanku, sehingga jenuh. Ponsel pun terlihat berbaring kesepian. Tak ada yang mampu menyalakan semangat untuk kehidupannya. Lalu, dengan berat hati aku mainkan nomer yang ada dalam tubuh ponsel yang kulitnya terlihat sudah luntur termakan usia.
Aku karang nomer yang berada di ponsel. Gagal terhubung pada nomer yang dituju. Aku ganti dengan nomer baru. Dan seterusnya sampai aku mendapat beberapa SMS dari nomer yang aku hubungi. Aku berikan balasan. Aku jelaskan. Ada yang menerima hadirku dan ada yang menolak. Terus aku lanjutkan. Sampai akhirnya, Indah hadir di hadapanku.
Pikiranku melayang terpatri hanya untuk Indah, gadis berumur enam belas tahun. Umurnya terpaut empat tahun denganku. Dulu Indah masih enggan memandangku. Di saat Aku menghubungi, ia ucapkan semanis kata, “Aku sibuk. Nanti lanjutin lagi.” Tapi seiring perjalanan waktu, Indah dalam keakraban. Indah sambut baik dalam hidangan pergaulan.
Ungkapan keseharian pun dalam pintu yang terbuka. Semua keadaan, hampir sempurna terungkapkan. Hubungan dengan Indah terlihat berwarna. Kumenduga, dalam diri Indah ada kesamaan denganku. Entah apa yang telah digariskan takdir untukku dan untuk Indah yang memang banyak dalam kesamaan.
Indah mengikuti organisasi Paskibra, aku pun juga ikut. Indah dalam keadaan mudah sakit di kepalanya sampai tak diperbolehkan melanjutkan sampai kelas 3 SMP. Aku pun dalam keadaan sama. Lemah dalam pernafasan sehingga raga tak berdaya. Aku hanya berbaring. Indah sering menyendiri sebelum kenal denganku, entah apa yang terjadi. Tentu aku pun begitu, walau penyendirianku hanya karena keadaan raga yang tak mendukung. Dan masih banyak lagi tentang uraian kesamaan yang melekat dibenakku.
Setahun sudah aku dan Indah dalam hubungan. Seperti biasa dua lawan jenis yang berjalan dalam keakraban, dipertengahan jalan hadirkan cinta. Dan itu yang dialami olehku. Tapi aku merasa bersalah karena tingkah kecintaan pada adik angkatku sendiri. Entah, perasaan apa yang sering menggangguku. Mungkinkah ini hanya perasaan penasaran akan wajah Indah? Atau ini benar-benar cinta? Aku tak sanggup membenarkan. Seakan cinta ini adalah aib yang dirasakan oleh kakak angkat.
Cintaku telah hadir dan menyambut dua kali ulang tahun Indah. Tepat pada tanggal 24 april 2008 dan 24 april 2009. Tapi dua kali pula Indah berkeinginan aku memberikan hadiah berupa pacar.
“Maksudmu apa?” Kataku masih dalam ketidakjelasan ucapannya.
“Aku ingin Kakak punya pacar untuk hadiah ulang tahunku. Itu hadiah yang paling berharga untukku. Dan pasti aku akan bahagia.”
Konyol. Itu konyol, Indah. Kau anggap pacar itu apa? Aku tak mengerti maksudmu. Sudah berulang kali aku katakan padamu, Indah. Aku tak akan mencari pacar. Buatku pacar hanyalah kehidupan yang akan menyiksaku.
Hatiku terluka dengan perkataan Indah tersebut. Betapa ia tak mengerti keadaan diriku yang sudah berulang kali aku sebut. Bertahun-tahun raga dalam nestapa. Aku hanya berbaring membayang perubahan segera datang.
Dulu Aku benar-benar seorang yang nekad. Benar-benar nekad. Waktu SMA aku ikut organisasi Paskibra. Tak perduli keadaan diriku, tak sandarkan diri tetang kelemahanku. Bukan hanya ikut Paskibra. Aku pun kerap melakukan olah raga angkat beban. Setelah itu aku sakit. Dan sakit itu membuat segala ragaku lemah selama bertahun-tahun. Ragaku hanya terdiam dalam ketidakberdayaan. Tapi sekolah masih bisa aku jalankan walau tak berdaya menghadapinya.
Cahayaku hampir sempurna meredup. Aku bodoh. Aku tak bisa apa-apa setelah lulus sekolah (walau lulus dari hasil jawaban ketidakjujuran guru). Aku tak bisa memandang dunia. Hidupku seakan tak punya arti seperti mati. Aku mengkhawatirkan nasib di masa mendatang. Tapi aku tak berdaya untuk merubah menjadi lebih baik.
Sampai kuliah semester dua tahun 2007 aku masih tetap lemah. Tapi ada perubahan sedikit. Aku mampu berangkat kuliah dan pulang pergi naik mobil angkutan umum. Itu karena sudah berkali-kali berobat.
Kejenuhan mulai datang. Jadi mahasiswa tapi tak punya teman untuk bertukar pikiran. Aku tak lancar bicara karena keadaan ragaku itu. Pada akhirnya kuberniat mencari teman lewat ponsel. Dan kini, berjumpa dengan Indah. Ia banyak mendengar keluh kesahku. Ia pun memberikan semangat. Indah pun curahkan permasalahan yang pernah dialami. Aku pun memberi semangat untuknya. Hampir setiap hari aku menguraikan perkataan dengan Indah lewat ponsel. Baik telepon atau SMS.
Pada semester tiga bulan Desember tahun 2007 aku mulai tunjukkan minat dalam hal tulis-menulis walau masih awam untukku. Aku berniat mencari berbagai pengetahuan tentang karya sastra. Aku pun semangat menulis kisah tentang Indah. Entah mengapa, aku lari dalam tulis-menulis. Mungkin karena begitu berharganya kenangan bersama Indah. Khawatir kenangan itu lenyap bersama masa lalu.
Perasaan cinta tumbuh di bulan Januari. Mungkin karena di bulan itu awal berjumpa dengan Indah. Tiap hari aku memikirkan indah, indah, dan Indah. Di samping itu, pikiran terasa berat sesaat membayang wajah rahasianya. Sampai pada bulan Februari akhir aku katakan cinta padanya. Aku tak kuat berkata itu di hadapan adik angkatku. Tapi aku juga tak kuat memendam cinta.
“Aku merasa hawatir kehilanganmu.”
“Kak, jangan bicara begitu,” kata Indah bersuara melemah seakan tak mampu berbicara.
“Aku tetap memandangmu sebagai Adik. Tapi kamu tetap wanita spesialku. Aku mencintaimu.”
Kak jangan bicara begitu. Aku mohon Kakak cari yang lebih baik dariku,” kata Indah sewaktu aku bicara tentang wanita spesial. Aku anggap wanita spesial yang ada dihatiku adalah Indah Purnasari. Gadis yang katanya di anggap cantik menurut para lelaki yang ada di daerah Bogor.
Hatiku tersayat perih akan perkataan Indah. Aku merasa bersalah berkata tentang asmara. Tapi aku juga berkeinginan mengatakan hal itu. Aku hanya cinta tak berharap. Cinta dalam ketulusan. Tapi Indah tak pernah mengerti tentang cinta tulusku.
“Aku tak menyangka, selama ini Kakak mencintaiku. Aku kira Kakak benar-benar tulus berhubungan. Aku kira kakak berbeda dengan laki-laki lain. Ternyata sama saja,” kata indah.
“Cintaku sama halnya cinta pada orang tua,” aku tak banyak berkata-apa apa.
Indah pun akhirnya memahami keadaanku. Aku mengakui itu kesalahanku. Tapi kesalahanku tak mau aku tutupi. Aku salah karena aku cinta, tapi aku juga salah bila menyembunyikan kesalahanku, yaitu cinta.
Lalu Indah katakan tentang kalimat perpisahan. Dan ia berulang kali katakan itu. Jiwa dan ragaku seakan tertindih. Berat dalam perjumpaan, berat dalam membawa cinta, dan berat dalam membuat karya sastra sebagai harapan untuk perjumpaan.
Membuat karya tulis masih aku lakukan. Dan cuma itu yang aku bisa, sebagai usaha untuk menghasilkan uang. Sehingga aku mampu menelusuri daerah Bogor dengan uang itu. Uang jajan tidak cukup untuk meraih yang aku harapkan. Keadaan fisikku, tak mungkin aku gunakan untuk bekerja dengan kesibukan dan rutinitas aturan. Hanya menulis. Menulis dengan santai yang aku bisa.
Sampai akhirnya, Indah mengkabarkan di saat aku selesai semester enam tahun 2009.
“Kak, mohon doanya.”
“Doa apa?”
“Sodara jauhku yang di sini mau melamarku…”
“Apa?!”
“Kakak kaget ya? Kakak sedih ya? Jangan khawatir Kak. Kita masih bisa meluangkan waktu untuk berjumpa dan memberikan kesempatan untuk hati Kakak. Aku belum menerimanya. Mengulur waktu itu demi Kakak. Aku beri waktu setahun untuk Kakak. Aku rela bila Kakak jodohku…”
Disini, tak terlihat Indah, aku menahan tangis. Indah ternyata mengharapkanku. Hatiku perih berbalut bahagia. Entah apa. Ya, itu karena cinta. Tapi aku tetap khawatir tak pernah melihat wajah Indah. Tubuhku makin lemas. Kurebahkan segera. Dan aku berusaha berkata tegar.
“Selamat ya? Semoga bahagia.”
“Amin.”
Aku pun berniat semangat penerbitkan semua karya tulisku yang berupa cerpen. Media cetak yang menampung karya penulis pun banyak. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, selalu aku lalui dengan menulis serius. Demi mendapatkan uang untuk ongkos mendatangi Indah. Sering pula sakit-sakitan karena begitu serius dan rutin dalam menulis. Tapi aku nekad tak peduli.
Puluhan cerpen aku kirim ke media masa. Puluhan pula cerpenku tertolak, tak terbit. Aku sedih dalam hati. Belum ada penerbit yang mau menerima karyaku. Memang aku penulis yang baru belajar.
Indah menugguku di sana. Membuat aku tak puas hanya mengandalkan karya tulisku. Aku nekad minta mengajar. Kebetulan pamanku menjadi kepala sekolah. Aku pun diterima. Tapi baru setengah bulan aku mengundurkan diri. Fisikku lelah dan sakit karena banyak kesibukan. Membuat karya tulis pun terganggu. Lalu aku kembali fokus dalam menulis. Dan begitu sedih.
Semester delapan akan berakhir. Aku mendapat kabar yang membuatku sendu lagi.
“Kak, Maafkan aku... Walau dengan berat hati, aku menerima lamarannya. Aku tak enak memandang keseriusannya. Aku menunggu Kakak, tapi…,” kata Indah dengan bahasa sendu.
“Terserah kamu. Tapi izinkan aku….”
“Bertemu, maksud Kakak? Aku pun sedih Kak. Mungkin kita tak bisa bertemu…
“Jangan bilang begitu! Aku ingin bertemu…”
“Maafin aku, Kak. Aku pun bingung. Andai Kakak sekarang di sampingku, aku rela Kakak mengajakku nikah. Tapi, takdir berkata lain,” Indah menangis tersedu-sedu.
“Aku tak mengharapkan takdir jodoh. Yang aku inginkan sekarang itu berjumpa denganmu. Beri aku waktu…”
Indah berkata lagi sambil tangis tersedu-sedu. Aku pun sedih, perih, pikiran pusing tujuh putaran.
“Maafin aku, Kak. Aku menikah 1 Mei seminggu setelah pertunanganku. Maafin aku, karena sudah bohong. Sebenarnya calon suamiku saudara dari Lampung. Terpaksa aku bohong demi menjaga perasaan Kakak.”
***
“Indah. Kenapa kau tak tunggu hadirku. Betapa pilu hidup ini bila kutak sanggup pandang wajah dirimu yang aku cintai. Biarlah aku tak memiliki dirimu, tapi perjumpaan adalah yang aku harapkan. Betapa luka hati ini sulit terobati hanya hadirmu menghias mataku. Tapi kini kau putuskan hubungan ini. Aku tahu kamu terpaksa melakukan hal ini. Suamimu orang Lampung. Jauh menyebrang lautan. Tapi kau telah menyembunyikannya! Indaaah,” lirihku.
Dalam kamar kuhanya menyeka-nyeka airmataku karena lamunan pagi ini. Hari ini adalah pernikahan Indah dengan laki-laki asal Lampung. Tepat di hari Minggu. Ia menikah di umur yang ke sembilan belas tahun.
Kini indah cahaya meredup dan singgah di kehidupan yang berbeda. Hidupku pun terasa suram, mencekam. Hari ini kurasakan, betapa cahaya akan silih berganti. Tinggal kita mengejar terus cahanya, maka ia pun akan tersenyum menerangkan.
***
Cirebon, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar