Terkadang suasana tarian bambu-bambu yang menimbulkan suara mirip hantu. Aku mendengarnya tanpa peduli. Kadang aku mencium aroma wangi mawar dengan aroma yang sedikit aneh. Yang sedikit membuatku merinding adalah waktu mendengar tangisan sembari menyerukan syair cinta. Persisnya seperti puisi kahlil gibran. Tetapi itu biasanya ada seorang pujangga yang memang bersyair di sini. Kejadian aneh itu biasanya di waktu sore hari.
Memang suatu pertanda buatku. Akan tetapi, aku tidak begitu memperhatikan kejadian itu. Aku hanya menikmati cinta di taman ini, sebagai satu-satunya taman sederhana tetapi cocok untuk memadu kasih bersama seorang yang aku sayang.
Seiring kejadian aneh yang terus-menerus diperlihatkan di depan mataku, membuatku semakin penasaran apa yang terjadi dengan semua itu. Sebuah kisah lama tentunya. Ya, kisah itu masih berkaitan dengan percintaan. Tentang percintaan yang sedikit mencekam itulah yang aku dapati dari para pencerita.
“Pantas, aku merasakan keanehan, Nov,” kataku.
“Keanehan apa? Aku tidak merasakannya.”
“Tentang hantu mawar berdarah,” kataku sewaktu aku sudah tahu kejadian sebenarnya.
Lalu aku menjelaskan yang aku tahu tentang cerita itu padanya. Rupanya Novi tidak pernah merasakannya. Kata seorang pengurus taman ini, katanya, lima tahun yang lalu ada seorang yang bunuh diri di tempat ini. Memang kejadian bunuh diri tidak begitu tragis dan dramatis. Pada akhirnya kejadiannya aneh sekarang ini pun tidak begitu mencekam.
“Lalu seperti apa bunuh dirinya? Karena apa ia sampai bunuh diri?” Novi mempertanyakan.
“Tidak tahu. Memang ini cerita klise. Cerita yang sudah umum dilakukan para pesimis sakit pada hidup. Aku tidak tahu,” kataku menjelaskan.
“Ah... tidak usah Mas bahas lagi. Tidak seram dan tidak seru. Paling cerita yang begitu-begitu saja.” Novi enggan mengetahui lebih dalam lagi.
Maklum aku tidak pernah tahu kejadian itu karena aku dan novi lebih intim pada kenikmatan-kenikmatan percintaan. Sampai aku melupakan masalah orang tua yang tidak menyetujui hubungan ini karena perbedaan agama. Tapi semua sirna karena kita tengah asik menikmati cinta. Hanya keanehan itu yang sedikit aku rasakan.
Setelah aku tahu yang sebenarnya tentang kejadian-kejadian aneh itu, aku sering melihat orang-orang berteriak-teriak. Anehnya, aku saja yang melihat kejadian itu. Padahal itu benar-benar nyata bagiku. Tetapi mungkin halusinasiku saja.
Aku menelan ludah saat mengetahui hal itu. Bukan masalah menakutkan. Tidak ada nuansa seram dalam kejadian ini. Yang aku pikirkan hanya tentang hubunganku dengan Novi. Aku hawatir hubungan ini putus di tengah jalan.
Aku teringat cerita kelanjutannya dari seorang yang pernah menjalin hubungan dengan seorang yang bunuh diri itu. Katanya, bila orang sudah mendengar kejadian aneh dan melihat sendiri lelaki yang berteriak-teriak, menangis dan lain-lain, tandanya akan terjadi keretakan pada hubungannya. Jelas ini hal yang aku takutkan.
“Kau jangan asal bicara!” Kataku kesal pada wanita yang mengaku mantan lelaki yang bunuh diri itu.
“Apakah saya butuh kepercayaanmu? Tidak butuh. Terserah kau mau percaya atau tidak. Coba pikir masalah apa yang tengah kau rasakan?” Dengan mata yang sedikit berkaca-kaca sehabis membicarakan putusnya hubungannya dengan lelaki itu.
“Memang, aku sedang punya masalah. Orang tua kita saling tidak setuju. Tetapi aku tak mau berpisah. Aku takut sekali berpisah dengan wanita yang aku cintai,” katakuaku. Hanya menunduk.
Plok! Ia menepuk pundakku, membuat kepalaku bangkit dari posisi menunduk.
Ia berkata,“Kisahku lebih tragis. Persis seperti kisah Layla Majnun. Kau tahu kisah itu?”
“Aku tidak tau. Kau mau menceritakan kisahmu? Silahkan.”
Lalu wanita yang mengaku mantan lelaki yang bunuh diri itu bercerita. Ia hanya ingin mengenang penderitaan yang waktu silam ia alami. Sudah lama memang ia tak menjenguk tempat ini. Memang ia pun menderita kegilaan akibat putus hubungan dengan kekasihnya. Bukan tanpa alasan. Ia menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya padahal kekasih wanita itu sudah benar-benar ingin menikahinya. Bukan kebaikan yang ia peroleh, tetapi justru siksaan ranjang yang ia peroleh. Akhirnya ia mengaku, ia mengalami kegilaan dan kecintaan pada mantan kekasihnya.
“Lalu, bagaimana mantanmu bunuh diri sampai ada hantu hantu penasaran yang mirip dengan kekasihmu?”
“Ia menyuntikkan racun yang sangat berbahasa dengan dicampuri cairan mawar dan berdarah. Ia menuliskan sendiri kisahnya dan ditaruh di bawah pohon mawar. Ia bunuh diri kira-kira malam hari.”
“Kenapa ia menampakkan diri sore hari?”
“Karena sore hari adalah tepat dilaksanakannya akad pernikahanku dengan lelaki pilihan orang tua! Wanita itu berbicara sembari menunduk lesu sembari tetap mata berkaca-kaca.
***
Kisah yang sedikit mencekam dahulu telah aku rasakan sendiri sekarang. Aku tak ada pikiran yang waras. Aku hanya menitikkan air mata. Kenapa ini terjadi? Aku tidak berdaya apa yang harus aku lakukan. Tetapi aku tidak terima melihat pernikahan ini!
Bergegas aku hampiri acara akad pernikahan itu. Tanpa rasa malu, aku menuju mantan kekasihku. Entah ini cara gila atau cara cinta, yang jelas aku tidak terima ia milik orang lain. Aku tak mau lagi dalam ketidakberdayaan.
“Tunggu! Aku tidak terima ia menikah dengan orang lain! Dia kekasihku dan hanya menikah denganku!” kataku keras dan tak peduli.
Mata para pengunjung semua tertuju padaku. Termasuk keluarga mantan kekasihku dan calon suaminya.
“Hei! Manusia gila! Makasudmu apa?!”
Tanpa pikir, aku bergegas mendekat lagi dan mencoba merebut mantan kekasihku.
Keributan pun terjadi. Aku mencoba memukul calon suaminya, malah aku yang terkena macam pukulan. Aku lari. Aku coba meronta-ronta, mengacaukan suasana. Membanting tempat makanan. Berlarian menuju kursi para tamu. Lalu mengambil anak kecil dan mengancam akan membunuh bila ada yang berani melanjutkan akad pernikahan. Kebetulan saya membawa pisau. Aku tidak tega tetapi aku telah sangat gila.
“Siapa saja yang berani melanjutkan akan pernikahan, aku bunuh anak ini!” sembari pisau diletakkan di leher anak ini. Orang tuanya menjerit-jerit. Anak itu menangis ketakutan.
“Hei novi! Aku tahu, kau terpaksa menerima dia! Kau tak berdaya menerima cowo brengsek itu, karena orang tuamu itu orang miskin baru yang menjelma menjadi pengemis! Wahai bapak dan ibu Novi, lagi pula kau benci diriku sejak aku masih berhubungan. Sekarang aku mau membatalkan pernikahan,” kataku penuh luapan emosi.
“Kurang ajar! Cepat panggil polisi,” kata bapaknya Novi.
“Jangan main-main! Sekali polisi datang, pisau ini merobek leher anak ini,” kataku mengancam.
Suasana mencekam. Semua ketakutan. Termasuk anak ini, ia terus menerus menangis. Kedua orang tuanya pingsan karena tak tahan melihat ancaman ini.
“Nikahi aku sekarang juga pak penghulu! Tanya sama novi, pasti ia menerimanya,” kataku.
“Ya Tuhan, Nak Firman. Jangan begitu. Kami mengerti, kamu cinta sama anak kami. Tetapi agama melarang untuk bersatu. Pak penghulu, dia bukan dari agama kita,” kata ibunya Novi menjelaskan.
“Agama apa’an? Agama gila! Kalau kalian masih punya agama, jangan memaksa anaknya untuk dinikahi! Kalian telah memaksanya.”
Berlangsung cukup lama adu mulut tanpa terpikir untuk membawa kabur Novi. Aku hanya melampiaskan yang dulu hanya tersimpan di dada.
“Angkat tangan! Menyerahlah,” suara polisi mengejutkanku.
Sampai aku tak sadar. Aku tak memperhatikan. Sungguh tak memperhatikan. Aku fokus meluapkan segala emosi dan memikirkan novi yang aku cintai. Dan kini aku sudah dikuasai oleh para polisi dengan mudah. Aku langsung dibawa ke mobil polisi.
Aku dijebloskan ke sel tahanan untuk proses persidangan. Hari-hariku hanya melamun. Sampai akhirnya aku tidak lagi ditahan. Aku mengalami kegilaan. Sangat gila.
Penampakan hantu yang sembari membawa mawar berdarah mengajakku untuk bunuh diri. Tapi aku hanya termangu tak mengerti melihat sesosok hantu mawar berdarah itu. Kegilaanku membuatku tak mengerti dunia ini dan apa hidup ini. Aku hanya berimajinasi tentang cinta yang tak lagi aku pahami.
***
Cirebon, September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar