Senin, 08 Agustus 2011

Cerpen-Seringan Nama, Seribu Pembahasan

“Hei apa kabar? Sama siapa kau?”



“Baik. Sendirian. Kau sendiri?” jawabku padanya sembari tanya.



“Sama Mama.”



Tak aku sangka, hari Minggu mempertemukan aku dengan cewe kutu buku.



Aku tetap dalam diam. Sembari mengingat tentang dirinya. Ia adalah kenalan baruku. Mmm… teman baruku, maksudnya. Aku dan dirinya satu kampus yang berada di Cirebon. Tapi kita berbeda jurusan. Aku jurusan IPS dan ia jurusan bahasa Inggris. Kita sama-sama semester satu. Baru masuk kuliah, tentunya.



Mau beli apa, Heri? Tanya cewe yang berwajah Indonesia, berambut lurus panjang dan sedikit kemerah-merahan akibat cat warna rambut.



Aku merasakan sentuhan pengakuan darinya. Ia lekat erat pada nama diriku. Tapi hatiku merasa tertusuk akibat ia menyebut namaku. Aku tak enak sendiri. Kenapa tidak? Aku tak ingat siapa namanya. Entah karena namanya begitu sulit atau karena aku mengabaikan namanya.



“Ah, biasa saja. aku hanya baca buku,” kataku sembari bulu kuduk terasa berdiri.



“Ow… sepertinya kau penggemar buku Psikologi,” cewe itu melihat-lihat judul buku yang sedang dibaca olehku.



“Ya, seperti kebanyakan temanku berkata demikian.”



“Benarkah? Tanya cewe yang masih tak diketahui namanya.



“Ya,” ujarku.



“Memang kita punya kegemaran yang sama. Kita sama-sama menyukai membaca. Mau kah setelah ini kita saling tukar pikiran? Kau terlihat mahasiswa yang pandai. Aku butuh orang sepertimu”.



“Ah, kau terlalu memvonis diriku pandai,” aku tetap dalam keadaan membaca buku.



“Ya sudah. Mau kah?” cewe itu memandangku seakan mengiba.



“E, e, ya, mau, mau lah. Kapan?”



“Satu jam lagi. Boleh kah? Kita baca buku sebentar. Kebetulan aku mau beli buku”.



“Baiklah.”



“Oh ya, aku belum punya nomer HP-mu. Berapa?”



Aku menyebut nomer HP-ku. Ia pun mentranfer nomernya. Dengan segera, ia langsung pergi tanpa menyebut namanya.



Betapa cewe itu pancarkan aura pengakuan. Ia begitu tulus mengakui hubungan ini. Ia terlihat tunjukkan pandangan keakraban. Tapi melihat keadaan diriku, semakin ia terus tunjukkan wajah keakraban, semakin berat aku menanyakan ulang nama dirinya. Seakan ada sesuatu yang menyumbat di dalam kerongkonganku.



Aku berpisah dengannya untuk sementara. Aku tetap di tempat ini. berada pada rak buku bagian Psikologi Perkembangan. Sedangkan cewe itu menuju rak buku bagian kuliner. Aku kembali dalam niat membaca buku.



Aku cari-cari buku yang menarik. Lama aku mencari-cari, akhirnya aku menemukan buku yang menarik. Buku itu rupanya kiat untuk membentuk pikiran dan jiwa agar bersikap besar. Aku buka buku itu. Kebetulan buku itu ada yang terbuka pembungkus plastiknya. Aku lihat-lihat daftar isinya. Saat membaca di bagian tiga, aku menelan ludah. Aku tak menyangka, di sini dijelaskan betapa penting menyingat nama. Mengingat nama salah satu untuk mempermudah mendapat teman. Mengingat nama adalah awal untuk membentuk persahabatan yang baik. Mengingat nama yang terlihat sepele, tapi itu cukup memiliki peran penting pada dunia pergaulan.



Membaca buku itu, perasaanku semakin tidak enak sama cewe itu. Ia mengingat namaku tapi aku tidak mengingatnya. Apakah nanti aku harus menanyakan kembali? Penjelasan buku itu mungkin hanya pada budaya Barat. Bukunya terlihat terjemahan dari bahasa Inggris. Atau, pembahasan itu juga berlaku untuk di Indonesia? “Ah, lupakan Heri, lupakan,” kataku membatin.



Hampir satu jam aku asik membaca buku di rak buku bagian Psikologi Perkembangan. Tepatnya pukul 11.10.



Tulililt, tulililit, tulililit. SMS datang.



Aku ambil ponsel dari kantong celana jeans. Rupanya dari cewe itu.



“Hei. Kau masih ingat??? Buruan dong kau ke bagian buku computer.”



Aku pun segera membalas. Dari nomer yang belum tercatat namanya.



“Masih. Baiklah, aku kesitu.”



Mataku melihat ke arah cewe itu. Aku segera ke bagian buku komputer yang diperintahkannya. Langkah demi langkah hatiku makin terbebani keadaan diriku yang lupa mengingat nama. Aku terasa gugup. Muka seakan pucat. Akhirnya dua raga sudah saling mendekat. Aku pandang mata cewe itu, ia pun memandang diriku.



Saat aku memandangnya, seakan-akan teringat tentang nama cewe itu. Tapi ingatanku kembali lumpuh. “Huh, sial.”



Aku memandangnya penuh rasa penyesalan. Kenapa aku tidak fokus mendengarkannya sewaktu menyebut nama. Sekarang aku hanya menunduk pasrah. Pasrah melihat sikap akhir cewe nanti. Apakah nanti ia tersinggung atau memaklumi kealpaanku.



“Hei, Her. Mau kah sekarng kita ke kafe? Kita ngobrol di sana.”



“Bo, boleh,” kataku gugup.



Bersamanya, aku melangkah menuju pintu keluar toko buku. Aku berjalan dengan santai. Kita Belum ada pembicaraan. Masih dalam perenungan tentang apa-apa yang mau dibicarakan nanti. Mungkin saja. Tapi yang aku rasakan memang demikian. Aku belum terbiasa diajak berdiskusi berdua dengan cewe. Semoga ia urungkan niat untuk berdiskusi. “Ah, masa iya, kita ngelakuin diskusi doang,” kataku dalam hati menepis kehawatiran.



Kami belok ke kiri dari pintu keluar toko buku. Kami lanjutkan dengan menaiki tangga. kafe itu terletak di lantai tiga supermarket. Kafe terihat biasa-biasa saja. tidak ada nyanyian yang mendampingi pengunjung.



Aku pasrahkan pada cewe itu saja. “Ahhh… aku hampir mengingat namanya. Ternyata kembali lumpuh ingatanku. Aduh.”



“Apakah kita cuma berdiskusi?” aku bertanya dengan posisi yang masih berdiri.



“Ya, mungkin saja. Aku lebih fokus untuk itu. Aku mau waktuku tak terbuang sia-sia. Aku harap kau jangan mengecewakanku. Silahkan duduk, Her,” ia duduk sembari menawarkan aku duduk.



“Terimakasih. Oh ya, kau nampak begitu akrab denganku. Padahal kita belum lama ber-hubungan.”



“Ah, sudahlah. Aku sudah terbiasa. Kau pantas diberi penghargaan sebuah keakraban, bukan? Dan aku pun membutuhkan keakraban. Terlebih pada cowo yang suka membaca. Kau mau minum apa?”



“Terserah kau,” aku masih termangu. Kata apa yang harus aku ucapkan nanti? Mungkin mulutku kikuk sewaktu berdiskusi.



“Pelayan.” Ia memanggil pelayan. Lalu pelayan pun menghampiri.



“Mau pesan apa?” Kata pelayan.



“Es Teh botol 2,” ia memesan minuman.



“Baik. Segera saya antar.”



Aku hanya menelan ludah sewaktu cewe itu memberikan penjelasan tentang keakraban dan menawarkan minuman untukku.



Ampun. Kenapa aku masih saja lupa? Apa pun perubahan sikap darinya, aku harus menerima. Yang jelas, sekarang aku tak akan tunjukkan wajah yang terasa pucat, dan perasaan yang gugup. Aku harus seperti dirinya. Aku tunjukkan wajah keakraban. Itu lebih baik dari pada menekuk-nekuk wajahku.



Tak lama kemudian pelayan kafe pun datang. Menyuguhkan dua minuman teh botol. Lantas kami meminumnya.



“Oh, kau pasti menemukan bacaan yang menarik, bukan?” Kata cewe yang terlupakan identitas pentingnya olehku.



“Lumayan. Yang pastinya, setiap kali membaca buku, aku menemukan kata-kata yang menarik, menggugah, dan lumayan untuk referensi pembicaraan.”



“Waw. Kau sangat ilmiah gaya berpikiranmu. Kata-kata untuk referensi pembicaraan, hmm….”



“Kau?”



“Aku menemukan buku microsoft word untuk mengatur pembuatan buku yang akan dipublikasikan. Ya, aku hobi menulis. Jadi aku perlu buku itu untuk dibaca. Dan aku pun membeli buku itu,” cewe itu berkata sembari mengemil kacang tanah yang tersedia di meja.



Aku menyedot es teh botol, “Kau hebat sekali.”



“Lumayan lah. Sebagai bukti kalau aku punya kemampuan. Kau sendiri?”



Aku menelan ludah. Aku termenung. Aku terjebak dengan perkataanku sendiri. Seharusnya aku tidak menjawab, kalau aku menemukan sebuah bacaan yang menarik. Pembahasan yang menarik, yang berkesan adalah tentang arti sebuah nama. Sungguh, aku terjebak dengan perkataanku sendiri. Apa jadinya nanti, bila aku sebut pembahasan itu padanya? Aku hawatir ia membahas tentang sikap negatif bagi seorang yang tak mementingkan nama.



“Kenapa harus bingung? Aku bisa mengatasinya. Aku sembunyikan pembahasan itu. Oh, tidak! Aku jangan menyembunyikan. Kapan aku tahu namanya kalau tak memanfaatkan kesempatan ini? Aku sudah tak tahan ingin bertanya. Aku harus siap tanggapan darinya,” kataku membatin.



“Hei, sudah menemukan? Sedari tadi kau melamun. Tapi aku menghormatimu. Mungkin kau sedang mengingat-ingat yang sudah terbaca.”



“Oh, ya, aku baru ingat. Aku menemukan pembahasan tentang arti penting nama. Ya, itu, hehehe…itu yang aku temukan. Maaf, aku, aku baru ingat.”



“Kau nampak gugup. Kenapa?”



“Aku hanya mengangkat kedua bahu.”



“Pembahasan arti penting nama. Bukankah ada pernyataan “Apalah arti sebuah nama”. Tapi kau malah menyebut nama sebagai suatu yang penting.”



Suasana semakin menyudutkanku. Pembahasan ini membuatku membuka keadaan hati yang sebenarnya.



Dengan data yang sedikit lupa, aku pun menjelaskan.



“Maksudku…bila berkenalan dengan seseorang, kita harus mengingat-ingat siapa namanya. Bila kita tetap mengingat, terkesan kita serius dalam hubungan. Bila kita lupa dengan nama orang yang baru kita kenal, terkesan memiliki rasa tidak serius dalam hubungan. Artinya, kita tidak memandang penting orang lain.



“Kau perlu tahu. Manusia memiliki nama, hewan memiliki nama, kafe ini memiliki nama, mal ini memiliki nama, daerah ini memiliki nama, negara ini memiliki nama, dan semuanya memiliki nama. Nama memang sepele, terlihat ringan, tapi pembahasan tentang nama bisa sangat diunggulkan dan membutuhkan banyak pembahasan.



“Kita sering melihat nama warung makan yang tak indah dibaca. Kita merasa risih bila nama kita disebut dengan ejaan yang salah. Banyak pula perusahaan-perusahaan laris manis produknya hanya karena nama. Kira-kira begitu. Aku sedikit lupa.”



“Begitukah? Sungguh menarik pembahasan ini. Dulu aku pernah punya kenalan. Namanya Nela. Belum sempat akrab. Kami pun berpisah. Suatu hari, aku bertemu kembali. Lantas, aku lupa nama dirinya. Aku menanyakan ulang padanya dengan berat hati ‘Aku lupa nama kamu. Siapa ya?’. Dan ia menjawab ‘Tega banget sih gak kenal. Aku pun masih ingat namamu’. Lantas, Nela menunjukkan wajah yang terlihat sedih, atau lebih mirip seperti tersinggung. Aku merasa tidak enak sama Nela,” ia membahas panjang lebar.



Aku khusyu mendengarkan keluh kesahnya. Aku semakin merasa bersalah. Ia memiliki keadaan yang sama dengan diriku. Ia sudah mengalami ketidakenakkan karena lupa atas nama kenalan barunya.



“Tentunya kau tidak enak. Oh ya, aku ingin membicarakan sesuatu yang sedari tadi aku menyimpannya. Kita tunda dulu membahas arti penting nama. Aku benar-benar tersiksa dengan keadaan ini. Setelah aku bicara, aku pasrah saja apa yang akan kau lakukan.”



“Kau seperti katak dalam tempurung saja,” kata cewe itu terang-terangan mengejekku.



“Ya udah, terserah kau berkata apa.”



“Silahkan bicara, Heri.”



“Begini. Aku ingat pertama kali kita berkenalan. Waktu itu kita bertemu diperpustakaan. Kau meminta SMS. Haha... lucu. Kau mungkin masih ingat?”



“Aku sangat mengingat kelucuanku. Lalu, kau juga nampak begitu gugup waktu diajak berdiskusi denganku.”



“Tapi sekarang tidak,” aku sedikit menyembunyikannya.



Aku melanjutkan penjelasan. Mengenai aku dan cewe itu, pertama saling menyebut nama. Aku menyebut namaku, ia pun menyebut nama dirinya. Tapi waktu itu aku tidak begitu fokus mendengarkan saat cewe itu menyebut nama. Nama yang sulit diingat atau nama yang terabaikan olehku. Intinya benar-benar tak terbekas.



Lalu aku hanyut berbicara tentang diri kita. Menyebut tentang daerah asal kita, menyebut jurusan yang kita pilih, dan menyebut yang lainnya. Dan pada akhirnya kita saling mengetahui tentang sesuatu yang disukai. Ternyata kita memiliki kesukaan yang sama, yaitu dalam hal membaca buku dan berdiskusi.



Lalu kita berpisah, tepat pada waktu jam istirahat perpustakaan. Dan seiring perpisahan itu, lenyap sudah tentang nama cewe itu. Aku benar-benar tak mempunyai bayangan tentang nama. Wajah pun samar-samar ingat. Setiap bertemu dengan cewe yang kini sedang di depanku, aku hanya menyapa dan menyambut dengan senyuman. Obrolan pun baru dua kali bersama dirinya. Aku tidak enak menanyakan ulang nama di saat hubungan terlihat cukup dekat.



“Aku melupakan namamu,”



“Ow, ow, ow. Itu kah masalahmu? Kau benar-benar berpikir di dalam kotak.”



“Apa maksudmu? Tanyaku sembari otot mata sedikit menegang.



“Berpikir di dalam kotak alias katak dalam tempurung. Kau punya masalah tapi tidak terbuka masalahmu. Jadi, mata melihatmu seolah-olah baik-baik saja. Tapi kau memendam segudang permasalahan. Dan permasalahan itu tak sanggup kau ungkapkan.”



“Terserah kau berkata begitu.”



“Memang kenyataannya demikian. Kau tidak mengungkapkan sedari tadi, kalau kau lupa namaku. Apakah harus aku berkata, ‘Oh, Heri kau begitu terbuka tentang dirimu’. Aku yang aneh kalau begitu. Aku kasih tahu sekali lagi, namaku Syaima Wardani atau di panggil Sema”.



“Kau sepertinya marah sama aku. Maafkan aku. Aku benar-benar tak bermaksud melupakan namamu. Aku memang terganggu dalam hal ingatan. Tolong mengerti.”



Kau ini. Kenapa mesti marah? Tadi aku sudah bilang tentang pengalamanku dalam lupa nama. Cuma aku menyesal, kebersamaan di sini terhalang oleh keluh kesah dirimu. Sebarusnya kau berkata hal begini, nanti belakangan.



“Mari kita lanjutkan kembali.”



“Aku sudah tak memiliki keinginan berdiskusi.”



“Tapi, tadi keluh kesahku cuma sebentar.”



“Tapi keluh kesahmu, yang menjadi beban dirimu, kini sudah menjadi beban untukku. Kau menganggap aku ini apa? Sampai kau tidak enak mengatakan ulang siapa nama diriku. Kau anggap apa?”



“Aku anggap sahabat yang aku hormati. Kau pun tadi sedikit cerita tentang masalahmu. Kau hebat, berdiskusi dengan gaya cerita”. kataku yang sedikit memuji cewe itu, yang sebenarnya bernama Syaima Wardani.



Ia Hanya tersenyum mengambang menanggapi ucapanku.



***




Cirebon, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar