Aku ingin hatiku ungkapkan rasa sebagai tebaran kepedulian, yang sampai saat ini ia masih sajalah sendiri sejak perpindahan tiga tahun yang lalu, disini. Aku ingin berhari-hari meluangkan waktu dengannya, hanya untuk ungkapan kosong, atau gosip murahan atau berbait-bait tanya penasaran. lebih dari itu, aku ingin mengikat dalam satu kehidupan. Ia adalah lelaki yang sejak setahun lalu membuatku sering tak mampu nyenyak dalam peristirahatan malam. Hanya nyanyian jangkrik malam, yang mampu menghanyutkan dalam dunia mimpiku. Apalah arti dari hal itu? Mungkin cinta telah bersarang di hatiku. Tapi yang pasti, perasaan melayang, terpatri hanya untuknya... Seakan perasaan itu menginginkan ia pun hadirkan cinta untukku.
Tapi aku tak sanggup tampil, menerobos dari sekat-sekat gaib yang kini masih mengikat jiwaku di halaman rumah. Aku hanya mampu termangu dalam keadaan duduk lemah di kursi roda yang berjalan lambat. Belum lagi ketidaknormalan pikiran membuatku tersingkir dari hubungan dunia manusia. Seakan hak kita berbeda antara manusia normal dengan tak normal. Padahal aku tak gila dan tak mempunyai bakat gila. Tapi apa daya, inilah takdirku.
Tapi, sejuta warna kisah lelaki berbaju hitam tak luput dari cengkraman pikiranku. Karena aku masih punya hati yang mampu menggerakkan, berkelana di atas batas kenormalan. Hatiku berkuasa menembus batas dan menyimpannya dalam memori alam bawah sadarku. Akankah aku seorang Mama Loren sang peramal tersohor? Atau aku muridnya? Tidak. Aku hanya penikmat dari kisah yang aku peroleh. Aku tak berkisah pada orang lain. Aku juga tak mampu menguraikan selayaknya manusia normal.
Aku teringat bayangan pertama kali tentang kisah dirinya yang menembus batas sampai dipangkuan hatiku. Waktu itu aku sedang memandang dirinya dalam keadaan berdiri tegak mematung, termenung. Kisah itu tentang jiwa kesalehan dirinya. Betapa terbayang kewibawaan yang memancar terang, jauh sampai kelubuk hatiku. Entah apa yang aku rasakan setelah pencahayaan kesalehan dirinya menyelinap dikehidupanku. Yang jelas, kesedihan yang mendera terkikis oleh bayangan kesalehannya.
Ia adalah anggota masjid yang gemar mendengarkan pengajian. Ilmu agama sering ia dapatkan di tempat itu. Segala kegiatan sering ia ikuti. Sampai hatinya tergerak untuk memasuki wilayah kontemplasi berbalut jubah hitam. Ia mengikuti kegiatan yang mendekatkan pada Tuhannya. Dikatakan ia adalah pemuda masjid yang sangat taat pada Tuhannya. Berhari-hari, sampai hari terhimpun membanyak, membilang bertahun-tahun.
Lelah, payah ia rasakan. Penyendirian seakan membebani kehidupannya. Ia berontak. Tak pandang masa lalu yang sudah membinanya. Ia sedih sendiri di tiap malam saat membayang di belahan dunia lain banyak orang liar yang berhati suram, tak melihat jalan kebenaran, dan tak sadar ia tesesat dalam kehidupan. Ia tak hanya diam. Ia keluar dari sikap peribadatan pasif. Keluar mengejar belahan dunia itu yang berada pada jembatan layang dan yang lainnya.
Sempat ia menoleh pandang pada diriku. Ia pun tersenyum memancar. Seakan ia mengetahui keajaiban apa yang sedang aku peroleh. Tapi aku tetap diam membisu di halaman depan, di kursi roda yang membantuku.
Aku lelah mematung membayang keajaiban. Lalu Ibuku membawa masuk.
“Ayo, masuk. Masuk ya, sayang? Lihat, semua pepohonan melambaikan salam perpisahan”.
Pandangan terus mengalir di saat kuterhanyut dalam mimpi. Kisahnya terus berlayar pada dunia yang berbeda. Limpahkan kegiatan pada sekumpulan manusia liar yang berada dibelahan kehidupan. Ia seperti mendapati dunia yang berbeda. Dunia anak masjid berbanding dengan dunia anak liar.
Lalu ia melebur merasakan apa yang mereka rasakan. Mereka bercelana jeans dan memakai kaos, dia pun sama―tapi tetap berwarna hitam. Mereka bermain kartu, ia pun lebih pandai dari mereka. Mereka minum minuman syaitan ia pun menenggak sebotol minuman keras. Di saat mulai menyatu, ia pun menyelipkan bait indah syair kehidupan, yang berkilau mutiara ketuhanan. Menggugah syair itu, mereka terhanyut, dan mereka merasakan kehidupan yang dilakukan itu sia-sia. Lalu mereka bersyair bersama.
Ada yang murka. Tetua tak menginginkan perubahan terjadi. Lihat saja manusia liar yang hidup di bawah jembatan layang dengan gaya Punk, juga manusia liar yang hidup di keramaian terminal, mereka sudah terkuras hamper habis olehnya. Terbawa arus peraturan kehidupan. Tetua pun semakin sulit mendapatkan keramaian keliaran.
“Hei! Manusia bodoh! Kau jangan sok menjadi pahlawan! Kau telah melenyapkan keramaian tempat ini!”
“Bukankah dunia pada akhirnya kembali membutuhkan cahaya?”
“Ahhh biadab, ia memukul”.
Lalu dilanjutkan teman-temannya dalam usaha menghabisi nyawanya. Untung ia segera lari di saat ada celah untuk kabur.
Pagi datang. Pun, aku kembali memandang di depan halaman. Terlihat, ia sedang melihat bayang-bayang
Tiba-tiba aku gemetar. Oh tidak. Aku goyang-goyang badan. Berguman tapi tak dalam kejelasan.
“Ada apa, Nak?” Ibuku memanggil-manggil.
Pergi! Pergi dari dunia liar itu. Kembali ia pada kontinuitas kegiatan spiritual. Ia sempat abaikan kegiatan itu karena tak mau berjalan sendiri menuju kebaikan. Tapi dunia liar tetap lah liar. Ia hanya memberikan sekedar syair peringatan saja.
Andai ibuku tahu. Kini aku sedang membayang dalam kegelisahan. Aku ingat tentang kisahnya dulu. Aku tak akan lupa. Tidak! Aku tidak akan mengingat ini lagi. Tapi, pandangan Lelaki itu membuat diriku menarik kembali kisahnya dalam ingatanku. Tak membiarkan kisahnya terlepas dari ingatanku.
“Hua, hua, hua...,” aku meronta-ronta tak jelas.
“Nak, kenapa kamu, Nak?” Kamu lelah memandang dunia luar ya? Tapi biarlah kau menikmati seperti manusia normal lainnya”.
Kisahnya semakin membuatku tak tahan dalam kebisuan. Tak tahan. Benar-benar tersiksa dengan keadaan ini. Kisah itu semakin berbau sara.
“Ada apa di masjid kita?” Tanya Lelaki itu.
“Agama lain menyerang kita!”
Ia tak puas dengan jawaban itu. Ia beralih pandang. Ia lalui waktu dalam pencarian kebenaran. Ia mendapatkan jawaban dari agama lain yang ditunjuk.
“Kenapa selalu kekerasan yang ditonjolkan? Agama itu menyerang kita!”
“Agama-agama itu dari satu kekuasaan! Agama-agama itu dari satu zat! Tapi kini berpencar bermusuh-musuhan. Seolah kehilangan bimbingan dari pemiliknya. Aku harus menjadi kesatuan dari mereka!” Lelaki itu semakin berkobar dengan jubah hitamnya yang seakan berubah angker ketika melihat keadaan ini.
“Kesal sama lelaki itu! Aku marah sama lelaki itu!” amarahku.
Seakan ritual keagamaan buyar. Ia tak lagi dalam satu pendekatan diri pada Tuhannya. Tak lagi dalam satu keyakinannya. Ia relakan peribadatan untuk kesemuanya, untuk agama-agama.
“Aku tak mengagumi dia lagi!”
Setiap hari ia luangkan waktu untuk salat. Salat jum’at pun ia lakukan dengan khidmat. Menjelang hari Minggu, ia sempatkan waktu beribadat dalam khusyu di gereja. Tak lupa ia hadirkan raga, menyembah pada agama lain dengan penuh keyakinan hati. Semua peribadatan ia lakukan. Menurutnya benar. Kebenaran adalah menurut sudut pandang seorang yang memandang. Ia beranggapan berdasarkan pada kesatuan wujud. Semua berasal dari Tuhan.
Bukanlah masalah semakin mereda. Masalah tetaplah meradang. Telunjuk manusia-manusia mengarah pada lelaki itu. Lelaki itu sudah dikenal dengan permainan keyakinannya, tapi tetap mengenakan jubah hitam dengan penuh konsisten.
“Munafik! Kau Salat, tapi kau juga ibadah di gereja!”
Lalu datang lagi ke tempat lain.
“Dasar orang plin-plan! Aku tak butuh hadirmu dalam peribadatan ini!”
Perlakukan sama. Lalu pergi lagi ke tempat lain.
“Pergi! Agama kau kosong. Kosongmu blong (sangat)!”
Perlakukan masih lama.
Mengerikan. Lalu ia diusir dari pemukiman yang biasa ia tinggal. Ia pergi dengan penuh sendu. Tak ada sikap baik yang diberikan. Padahal ia bukanlah elit politik yang banyak bermain penghasutan, adu domba, umbar janji. Ia hanya seorang hamba yang mencari kedekatan pada Tuhannya.
Merasa tak dianggap hadirnya. Bahkan diusir. Ia pindah ketempat ini dalam lepaskan semua agama yang melekat. Walau hakikatnya tak ada yang lepas dari agama. Ia pun bermain dalam budaya masyarakat. Budaya yang katanya tak ada atau tak bisa diselipi dengan unsur keagamaan. Bahkan agama hanya mengikuti, mengarahkan budaya. Bagi budaya yang terkuasai agama, lenyap sudah kegiatan kebudayaan. Tapi entah lah, apakah benar atau tidak. Yang jelas banyak tubuh yang telanjang, melepas kain keagamaan dan bergoyang dalam melestarikan budaya.
“Ah… Aku malas mengingat-ingat tentang hal budaya”.
Ia lepaskan semua atribut keagamaan tanpa melepas kain hitam yang selalu melekat di tubuh kurus itu. Ia lepaskan dan kembali hanya pada hati. Ia tak perlu lagi simbol-simbol kegiatan peribadatan. Ia hanya manusia yang mencari kedekatan lewat jalur kesalehan hati.
Lelaki itu. Tetap berdiri dalam cobaan kehidupannya. Aku siap menjadi penyanggahnya di kala ia lemas tak berdaya dalam berdiri mengatasi cobaan. Tapi kulihat tak ada goncangan jiwa sama sekali. Hanya ketenangan berkelas wali yang selalu ia tunjukkan. Sampai aku tak sanggup menembus rahasia terdalam pada dirinya. Padahal lebih mendalam, lebih mengetahui hakekat hidupnya.
Tapi melihat dengan kaca mata awam, ia bukanlah seorang wali. Atau ia hanya seorang asketis yang salah arah? Sesat. Atau seorang yang berusaha melepas bentuk kehitaman hati yang selalu saja melekat di dalamnya. Entah lah, yang jelas ia sudah tinggal lama di daerah ini. Sampai kuterhanyut memperhatikan dirinya setiap hari.
“Aaah...,” dia melihatku, tersenyum padaku.
“Nak, ada apa? Ya sudah, kita masuk dulu Ya?”
“Ibu... Ibu... lelaki itu penuh rahasia, Bu... Ibu... aku ingin sekali tanya, kenapa ia selalu saja memakai pakaian hitam, Ibu...?”
***
Cirebon, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar