Jumat, 10 April 2015

Kajian Bahasa Untuk Hakekat Tuhan – Study Kasus Tuhan Ada Di Atas Langit

Kajian Bahasa Untuk Hakekat Tuhan - Penjelasan ilmiah yang tidak bisa dibantah dengan akal dan empiris, maka bisa dijadkan sebagai kebenaran. Bila tidak, gila! Ilmuan mengatakan bahwa bumi itu bulat (atau membentuk seperti bulatan), dan secara akal maupun empiris tidak bisa membantahnya maka bisa dijadikan suatu kebenaran.



Kalau masih ada yang berkata bumi itu datar, maka makna sesunguhnya adalah pendataran diri atas” Yang Maha Kuasa” dengan pendataran yang sesuai aturan. Karena bisa juga dikatakan bumi itu datar dalam arti sesuai keadaan yang dialami manusia, baik sifat atau empiris. Ada orang yang merasa tinggi (merasa ujub atau sombong dengan Tuhan), tinggi seperti gunung, maka yang dialami tidak sesuai dengan makna kedataran bumi. Ada juga orang yang merasa rendah (putus asa dengan rahmat Tuhan), seperti dataran rendah, maka yang dialami juga tidak sesuai dengan makna kedataran bumi.



Sekarang, kita mengikuti fakta ilmiah bahwa bumi bentuknya bulat. Bila bentuknya bulat, maka hukum “ATAS-BAWAH” sudah menjadi relatif.  “Arah atas” bagi orang Indonesia, bisa jadi menurut orang Amerika itu adalah “Arah bawah” menurut orang Amerika. Jadi, tidak bisa ditentukan hakekat arahnya.




A.    Agama Vs Kebenaran Ilmiah


Bagaimana bila antara agama bertentangan dengan kebenaran ilmiah? Maka jawabannya adalah si penafsir melakukan kesalahan dalam memahami ajaran agama atau agamanya sendiri tidak benar. Antara agama dan kebenaran ilmiah tidak bisa dipisahkan karena pada hakekatnya berjalan lurus sesuai kehendak Tuhan dan memang semua dari Tuhan.



Dalam agama Islam, ajaran agama bersumber dari:



1.    Al-Qur’an

2.    Al-Hadist



Bila kebenaran ilmiah bertentangan dengan Al-Qur’an maka otomatis si penafsir salah tafsir mengenai bahasa dalam Al-Qur’an. Bukan Al-Qur’annya yang salah. Ada agamawan dari agama lain berkata bahwa banyak kesalahan dalam Al-Qur’an. Bukan Al-Qur’an yang salah, tetapi si penafsir salah menafsirkannya.



Namun bila kebenaran ilmiah bertentangan dengan Al-Hadist, ada dua kemungkinan. Bisa jadi si penafsir salah tafsir mengenai hadist yang dimaksud. Kalau memang benar-benar tidak ada kesalahan dalam memahami Al-Hadist, bisa jadi Al-Hadist yang dimaksud adalah “palsu” atau “lemah”. Makanya, tidak bisa memakan mentah-tentah Al-Hadist sebelum tahu hakekat makna Al-Hadist. Harus menggunakan metodologi dalam mengambil pemahaman dari Al-Hadist.




B.    Agama, Kebenaran Ilmiah dan Bahasa


Agama berasal dari Tuhan. Tuhan memberi tahu tentang agama lewat manusia pilihan dengan bahasa-bahasa yang bisa dipahami oleh manusia. Inti dari sebuah ajaran agama adalah “bahasa”. Tidak ada bahasa,maka tidak ada ajaran keagamaan. Mutlak ada bahasa dalam ajaran agama maka mutlak juga memahami tentang bahasa dan kaidahnya. Sehingga dari bahasa keagamaan akan menimbukan penemuan yang bersiat ilmiah, yang status ilmiah bisa dianggap suatu kebenaran.



Agama memang bukan hal yang bersifat ilmiah. Namun ke-ilmiah-an berasal dari agama. Dan keilmiahan tersebut karena dari bahasa keagamaan. Dari bahasa keagamaan maka seseorang akan melakukan penyelidikan sampai menemukan kebenaran keilmuan, walau terkadang hasilnya relatife karena memang faktor dalam membahasakan sesuatu. Dan keilmuan yang dihasilkan tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan namun juga pengetahuan umum.




C.    Bahasa Untuk Makhluk dan Bersifat Kemakhlukan


Walau bahasa keagamaan adalah bahasa Tuhan, pada hakekatnya bahasa Tuhan tidak seperti yang umum dipahami manusia. Ini catatan penting yang harus dipahami manusia bila mau membahas “Kajian Bahasa Untuk Hakekat Tuhan”. Bahasa Tuhan tidak bersuara, tidak berhuruf dan sudah ada sejak dahulu (tanpa awalan) walau bahasa dari Tuhan baru turun setelah manusia diciptakan.



Seperti kitab Al-Qur’an. Pada hakekatnya, Al-Qur’an adalah bahasa Tuhan tetapi bahasa Tuhan tidak seperti yang ada di dalam Al-Qur’an. Kalau bahasa Tuhan seperti yang ada dalam Al-Qur’an, maka hukum bahasa Tuhan tidak bersifat azali (sudah ada sejak dulu tanpa awalan). Otomatis bahasa Tuhan bisa dikatakan “makhluk”. Mustahil bahasa Tuhan bersifat makhluk.



Bahasa Qur’an yang diturunkan lewat Nabi Muhammad adalah bahasa yang bisa dipahami oleh kalangan manusia, khususnya Nabi Muhammad. Jadi, bahasa memang untuk makhluk dan bersifat kemakhlukan.




D.    Bahasa dan Kaitannya dengan Hakekat Tuhan


Ada ciptaan, maka pasti ada bahasa untuk menjelaskan ciptaan. Segala ciptaan memiliki bahasa (kata) untuk penjelasan di muka manusia tentang ciptaan dan kegunannya. Kalau kemakhlukan tidak memiliki bahasa maka batal dalam segi ilmiah dan agama.


  • Kata “tangan, kaki, wajah, dan lainnya” maka untuk menjelaskan benda/bentuk (karena pada hakekatnya segala benda itu berbentuk) makhluk, baik yang terlihat atau yang tidak terlihat. Kalau yang tidak terlihat berarti benda gaib.

  • Kata “atas, bawah, samping, timur, barat, dll” maka untuk menjelaskan arah suatu makhluk.

  • Kata “malam, siang, sore” maka untuk menjelaskan waktu suatu makhluk

  • Kata “rumah, masjib” untuk menjelaskan tempat. Bergantung konteks kegunaan bahasannya. Bila “di masjid” berarti menunjukkan tempat namun bisa dikatakan “masjid” sebagai benda.


Bahasa juga untuk menjelaskan hakekat Tuhan. Namun bahasa yang seperti apa untuk menjelaskan hakekat ketuhanan? Sedangkan bahasa sendiri adalah untuk makhluk dan bersifat kemakhlukan? Maka dari itu, adalah menghidar diri dari menggunakan bahasa yang maknanya yang serupa dengan makhluk.



PERLU DICATAT: Bahasa Tuhan tidak seperti yang dipahami oleh manusia, yang ada di kitab suci. Sehingga manusia jangan asal mengarahkan bahasa dalam kitab suci untuk menjelaskan hakekat Tuhan.



Semua bahasa yang lebih menjelaskan tentang bahasa kemakhlukan maka harus untuk manusia itu sendiri. Bila Tuhan berkata, “Tangan Tuhan” sedangkan tangan adalah bahasa kemakhlukan maka harus diartikan dengan yang lain atau menyerahkan makna pada Tuhan.



Ada yang berkata, ”Tuhan di atas langit tetapi jangan diartikan bahwa makna di atas-Nya, sama seperti di atas yang sering dilakukan makhluk. Tuhan tidak membutuhkan tempat. Jadi makna di atas tidak menempel ke suatu tempat.”



Kutipan langsung dari salah seorang yang berkata Tuhan di atas langit atau Arsy:



"Makna diatas itu tidak selalu menempel, contoh saja yang merupakan sama-sama makhluk,. Rembulan berjalan diatas kita, Atau rembulan menemani kita di malam ini,. apakah bulan nempel dengan kita? hanya orang yang kurang waras saja yang mengatakan bulan nempel dengan kita, Allah pun bersemayam diatas Arsy , dan terlepas dari arsy , tidak menyatu dengan arsy,. sebab Allah tidak butuh kepada makhluk, justru makhluk yang butuh kepada Allah,."



Maka untuk membantah ucapan di atas adalah kembali kepada hakekat kegunaan bahasa. Bahasa “Tuhan di atas langit” itu untuk menjelaskan sesuatu dari ciptaan Tuhan. Karena Tuhan tidak butuh bahasa “Di atas langit”, yang butuh bahasa langit adalah makhluk. Sehingga bahasa yang sudah umum diucapkan bersifat kemakhlukan. Makhluk pun memahami tentang makna “di atas langit” itu untuk diarahkan ke tempat yang sudah umum dipahami.



Memberikan bahasa “di atas langit” untuk Tuhan walau jangan disamakan tentang “arah atas untuk Tuhan” dengan “arah atas untuk makhluk”, tetap saja bahwa makna “di atas langit” adalah seperti yang umum dipahami manusia.



Sehingga kita harus ketat memilah dalam memberikan bahasa untuk hakekat Tuhan. Dan Tuhan sudah menjelaskan bahwa, “Hakekat Tuhan tidak menyerupai makhluk”. Sehingga ketika bahasa “Tuhan Di Atas Langit” yang merupakan bahasa kemakhlukan – karena bahasa Tuhan bukan yang sudah umum diucapkan – harus dipasrahkan maknanya tanpa menjelaskan. Terlebih bila melihat “KEBENARAN ILMIAH” bahwa makna “Atas-Bawah” sudah dianggap relatif.



Bahasa “Atas-Bawah” adalah bahasa kemakhlukan yang kegunaan maknanya relatif. Bila orang Indonesia berkata, “Tuhan di atas langit” sambil menunjuk ke atas maka akan berbeda hasilnya bila dibandingkan orang Amerika yang berkata “Tuhan di atas langit” sambil menunjuk ke atas langit. Akhirnya, akan membentuk kesimpulan bahwa “Tuhan ada di atas dan di bawah langit” walau kesimpulan ini pun salah karena ketentuan arah “Atas-Bawah” bersifat relatif, bergantung di mana manusia menempati suatu wilayah.



Sehingga bila masalah hakekat zat Tuhan, bisa disimpulkan:


  • Tuhan tidak terikat arah

  • Tuhan tidak terikat bentuk

  • Tuhan tidak terikat waktu

  • Tuhan tidak terikat tempat


Dengan memahami fakta ilmiah alias kebenaran ilmiah lewat bahasa keilmuan, maka sudah bisa diketahui kebenaran hakekat ketuhanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar