Tidak ikut campur dalam perbedaan pendapat mengenai ucapan "selamat hari natal", saya ingin bermain logika mengenai ucapan selamat. Sebuah permainan logika dalam membahas "Selamat Hari Merokok" yang dikorelasikan dengan "Selamat Hari Natal" untuk melihat respon kita terhadap sesuatu yang dibenci dengan sesuatu yang disukai.
Kita punya seorang anak, anak kita rajin merokok. Padahal kita tidak setuju anak kita kecanduan rokok. Segala upaya agar anak kita jangan merokok sudah dilakukan. Kita pun mendoktrin ke anak kita yang lain agar jangan masuk dunia rokok, nanti keluar dari dunia sehat. Bahkan kita pun ikut sebuah organisasi untuk membendung remaja-remaja dari kegiatan merokok.
Suatu ketika, ada hari untuk memperingati "Hari Raya Merokok". Di hari itu, semua perkokok menjalani hari bahagia, hari raya merokok. Semua perokok berpesta rokok dengan hadirnya hari raya merokok. Termasuk, yang menjadi miris adalah anak kita ikut merayakan rokok dan membawa adiknya yang tidak merokok agar merokok.
Melihat kejadian ini, ucapan apa yang harus kita lakukan?
- "Selamat hari merokok ya, Nak?" tanpa basah-basih.
- "Selamat hari merokok ya, Nak" penuh basah-basih, sekedar katanya menghormati.
- "Saya tidak mau memberi selamat kepadamu, Nak. Hanya doa, semoga kamu diberi hidayah."
Melihat kejadian ini, perbuatan apa yang harus kita lakukan?
- Ikut berpesta, merayakan hari merokok
- Ikut berpesta, merayakan hari merokok namun bersikat benci. Maksudnya pura-pura menghormati
- Tidak ikut berpesta bahkan berusaha untuk mencegah anak agar tidak ikut berpesta menikmati rokok di hari raya merokok
Lalu bagaimana bila kita setuju dengan merokok, halal merokok? Maka secara otomatis, kita akan setuju dengan sikap anak yang merokok.
Bila setuju dengan anak yang merokok, namun menganggap merokok adalah hal yang dibenci, maka, pengakuan setuju ini adalah bentuk "keterpaksaan", tidak tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar